Jumat, 11 Juli 2008

Kebangkrutan oleh Minyak Dunia atau oleh Birokrasi

Naiknya harga minyak, membuat semua kondisi perekonomian dunia terpukul rata menuju kepada tren yang cenderung menurun. Seluruh sektor perekonomian di dunia sekarang ini menjadwal ulang proyeksi perkiraan perjalanan perekenomiannya seiring dengan ketidakpastian yang semakin tidak menentu. Kondisi geopolitik yang belum memberikan titik terang terhadap penyelesaian ketegangan antara Iran dan Barat, adanya kecenderungan kuat dari Israel untuk melakukan serangan terhadap reactor nuklir di Iran seiring dengan penujian rudal jelajahnya  beberapa hari yang lalu. Saling tuding antara negara konsumen yang mengklaim bahwa negara produsen besar minyak tidak tanggap terhadap kebutuhan pasar, sebaiknya negara produsen yang dimotori oleg Arab Saudi beranggapan bahwa kekhawatiran yang paling mendasar adalah tidak adanya pasar jika produksi minyak dinaikan, selain tudingan yang diarahkan kepada para spekulan yang mengambil aksi ambil untung terhadap kondisi seperti ini dan pelemahan mata uang dollar terhadap Euro, kemudian. konflik di daerah – daerah penghasil ladang minyak terbesar di dunia seperti di Nigeria yang sudah mengarah kepada perang saudara.

Krisis minyak dunia sekarang ini jelas sangat berpengaruh terhadap kondisi dunia avisasi. dimana keberadaan operasionalnya sangat bergantung dengan turun – naiknya harga minyak, secara umum di seluruh dunia terutama di negara – negara maju, telah mengalami pukulan telak terhadap dampak naiknya harga emas hitam tersebut. Sebut saja British Airways, salah satu maskapai terbesar di Eropa tersebut mengklaim bahwa sangat mungkin kegiatan operasionalnya berhenti jika minyak terus bertahan diangka saat sekarang ini. Kemudian tercatat, sudah 24 maskapai telah gulung tikar karena tidak kuat menanggung beban operasional. Kita melihat United Airlines yang sudah merumahkan ratusan pilotnya dan di Australia, konflik hubungan industrial yang terjadi di maskapai Qantas Airlines, dan hari ini, 9 juli 2008, China sudah menaikan harga bahan bakar untuk pesawat. Gambaran tersebut menunjukan semua sector di dunia aviasi sedang diuji keberadaannya untuk tetap eksis terhadap keadaan seperti ini.

Kemudian bagaimana jika fenomena yang terjadi negara – negara maju tersebut terjadi juga di negara kita ? apa dampaknya jika terhadap perputaran ekonomi nasional jika fenomena tersebut terjadi dinegara kita ? Sementara jangankan untuk menghadapi persoalan global, untuk standar keselamatan penerbangan saja, kita belum mendapat pengakuan secara utuh dari dunia internasional. Walaupun Garuda Indonesia sudah berhasil mendapatkan pengakuan sertifikat standar keselamatan internasional. Krisis maskapai yang terjadi di seluruh dunia memang belum dirasakan hingga titik yang paling ekstrem untuk di Indonesia, tingkat konflik yang sudah terjadi selama perjalanan dunia penerbangan di kita adalah kasus berlarutnya Adam Air yang akar penyebabnya adalah factor komunikasi yang kurang transparan dari manajerial maskapai tersebut. Kita melihat aksi – aksi korporasi yang dilakukan oleh Garuda setelah mendapatkan sertifikasi kelayakan terbang internasional, melakukan beragam kerjasama dan membuka rute – rute penerbangan internasional kemudian melakukan kerjasama berupa code sharing atau kerjasama operasional untuk menutupi kekurangan armadanya. Aksi – aksi tersebut kalau boleh dbilang merupakan sebagai wujud usaha untuk tetap mendapatkan revenue / pendapatan di saat tingginya biaya operasional yang dikeluarkan oleh maskapai tersebut, walaupun dalam melakukan aksinya, factor pemerintah sangat dominant sekali dalam memberikan support berupa fast track – fast track dalam untuk kelancaran aksi korporasinya. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh maskapai lain secara umum, melakukan penghematan – pengehematan dan diupayakan sebisa mungkin untuk tidak menggangu sensitivitas load factor, mengingat daya beli masyarakat yang sudah sedemikian parahnya. Sebisa mungkin masyarakat masih bisa mendapatkan penerbangan bertarif murah.
Memang ibarat menegakan sebuah benang basah, jika melihat kondisi penerbangan Indonesia yang menuju kearah titik nadir. Dari mana harus dimulai  proses perbaikan ini, kalau  dari sisi hulunya saja ternyata jika menelaah dari hasil temuan KPK di Perhubungan Laut, bukan tidak mungkin kondisi tersebut dapat juga ditemukan di Perhubungan Udara. Apalagi perputaran di sektor tersebut yang bernilai puluhan trilyun rupiah dan merupakan daya tarik yang amat menggiurkan untuk menumbuhkan budaya – budaya  yang tidak sebagaimana mestinya. Sejauh ini dapat dipahami upaya – upaya yang dilakukan oleh Perhubungan Udara secara perlahan memperkuat semua sector dari titik hulu, yang ujungnya adalah untuk mempermudah maskapai dalam melakukan penghematan untuk operasionalnya. Dari mulai didorongnya maskapai nasional untuk mendapatkan IOSA seperti Garuda kemudian diupayakan agar maskapai nasional lainnya dapat belajar terhadap aksi korporasi Garuda dalam melakukan penetrasi bisnisnya setelah mendapatkan sertifikat IOSA, pembukaan jalur penerbangan yang lebih luas bagi maskapai nasional untuk penerbangan haji sehingga diharapkan terjadi pemerataan pendapatan terhadap maskapai  yang sanggup melakukan penerbangan di rute tersebut karena memang ketersediaan potensi pasar yang sustainable dari tahun ke tahun dan cenderung meningkat, kemudian usaha yang dilakukan baik melalui hubungan regional terhadap negara – negara di Eropa atau lobi – lobi politik untuk mengeluarkan Indonesia dari larangan terbang di kawasan tersebut, sampai yang terakhir, Dephub Udara berupaya dengan regulasinya untuk dapat mendorong industri rancang bangun komponen pesawat di tingkat lokal, mengingat selama ini kebutuhan untuk komponen pesawat merupakan impor dan secara umum, maskapai menghabiskan sekitar 35 % operasionalnya untuk biaya komponen dan perawatan pesawat.

Gambaran  di atas merupakan sebuah usaha – usaha yang logis yang melalui sebuah proses untuk melindungi eksistensi penerbangan di Indonesia, karena UU penerbangan nya saja belum ada, sehingga memerlukan upaya secara setahap demi setahap terhadap perbaikan kearah itu. Tanpa bermaksud merasa lebih tahu, proses kearah perbaikan itu mungkin akan lebih baik dilakukan dengan melakukan proses pembenahan internal di jajaran Departemen Perhubungan Udara terlebih dahulu, seperti yang telah disebutkan di atas, temuan KPK di Perhubungan Laut, sedikit banyak menggambarkan kondisi di jajaran lainnya seperti di Perhubungan Udara. Sedikit gambaran yang paling logis terhadap kondisi tersebut adalah, kita dapat melihat dalam kasus – kasus kecelakaan penerbangan yang terbilang signifikan dan biasanya kasus kecelakaan yang terjadi adalah akibat suatu kondisi pemaksaan efisiensi berupa pemangkasan biaya operasional yang berlebihan. Keterbatasan biaya operasional maskapai merupakan alasan yang paling mendasar yang dipakai oleh maskapai untuk menekan biaya perawatan pesawat. Belajar dari kasus kecelakaan Adam Air yang hilang di laut Sulawesi, ketika itu tekhnisi dan pilot sudah merkomendasikan untuk mengganti system navigasi, kemudian dengan alasan efisiensi manajemen hanya melakukan perbaikan terhadap system navigasi yang ada. Sehingga diperlukan ketegasan terhadap regulator, karena kalau tidak industri penerbangan akan terus kecolongan terhadap kejadian – kejadian tersebut. Kasus yang terjadi baru – baru ini terhadap pesawat Cassa yang terjatuh di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, mengutip apa yang dikatakan oleh Jusuf Kalla terhadap insiden kecelakaan tersebut yang menyoroti kemampuan pilot sebagai hal yang paling berpengaruh dalam penerbangan, karena jika dilihat pesawat dengan usia yang tua, bukan merupakan faktor error yang paling dominant, tetapi dalam hal ini pilot merupakan yang paling memahami sampai sejauh mana kelayakan pesawat yang diterbangkannya. Mungkin juga factor manajerial maskapai penerbangan yang minim dalam mengadakan pelatihan dari mulai kru pilot, tekhnisi dan awak kabin, sehingga berdampak pada minimnya skill terhadap sumber daya manusianya. Sedikit cerita di luar persoalan manajerial maskapai, saat sekarang ini, kita tengah berjuang untuk berupaya keluar dari larangan terbang oleh Uni Eropa dan pada tanggal 9 – 11 Juli 2008 ada Air Safety Meeting di Eropa dan kita berharap ban atas maskapai penerbangan Indonesia  dapat dicabut pada saat meeting tersebut. Tetapi kemudian UE menyatakan tidak mengkin mencabut ban ini? Karena sementara Indonesia diharapkan PALING LAMBAT sudah memasukan dokumen yang diminta / persyaratkan UE tanggal 16 Juni 2008. dan dari Indonesia baru memasukan tanggal 1 Juli 2008, 14 hari terlambat. Entah apa yang terjadi pihak kita menyatakan bahwa dokumen sudah dikirim lewat email, mungkin berasumsi tidak ada keterlambatan dan pihak UE sendiri mengaku tidak menerima. ( Silahkan Check dan mohon koreksi jika ada kesalahan ). Yang jelas dokumen tersebut sudah terlambat untuk didistribusikan keseluruh anggota UE untuk dipelajari dan disikusikan diantara mereka.

Memaksimalkan fungsi control Departemen Perhubungan terhadap manajeman maskapai nasional sepertinya merupakan pekerjaan yang terberat untuk mewujudkan dunia penerbangan nasional yang kuat dan berkualitas. Indikasi main mata antara pihak regulator dan manajemen maskapai sangat dimungkinkan karena kecilnya upah tim kerja inspektorat pengawas penerbangan sebagai regulator. Temuan KPK di perhubungan laut, sekali lagi menguatkan dugaan bahwa di Perhubungan Udara juga mungkin sudah terjadi kecenderungan budaya – budaya tidak sebagaimana mestinya dan dalam keadaan sudah kronis. Pelajaran terhadap kecelakaan kasus Adam Air di laut Sulawesi apa mungkin karena factor lemahnya pengawasan dari pihak – pihak terkait sebagai regulator ? kemudian kasus terakhir jatuhnya pesawat Cassa yang diklaim karena factor usia pesawat yang sudah tua apa bukan juga karena fungsi control yang belum maksimal ? ( meski pesawat tersebut  merupakan pesawat militer ) dan persoalan keterlambatan pengiriman data ke Uni Eropa, yang lebih kepada factor tehknis apa bukan hal tersebut dapat disebut sebagai factor kelalaian…….?  ( Jika memang benar hal itu terbukti )……

Menurut petinggi di Dephub, bahwa pelarangan terbang ke Eropa merupakan lebih kepada persoalan politis karena dilakukan secara sepihak dan tidak melakukan audit dahulu. Tetapi yang paling sederhana dengan melihat kasus kecelakaan pesawat Cassa di Gunung Salak, dimana bukan merupakan pesawat komersial, melalui pemberitaan media massa di seluruh dunia terhadap insiden tersebut, hal tersebut jelas akan berdampak pada bertambahnya sisi ketakutan terhadap masyarakat internasional untuk menggunakan penerbangan maskapai Indonesia, jadi ! apa mungkin kita dapat keluar dari larangan penerbangan tersebut ? dan lebih dekat kearah politis atau psikologis jika image rasa takut akan keselamatan penerbangan begitu kuat dari masyaralat internasional ?  sehingga dari cerita – cerita diatas, jika dari sisi hulunya sudah sedemikian rupa apakah logis jika terjadinya kebangkrutan pada maskapai nasional, bukan karena persoalan minyak dunia yang secara otomatis akan meningkatkan harga AVTUR, tetapi merupakan lebih karena persoalan birokrasi yang sudah sedemikian amburadul…..? silahkan untuk lebih memberikan penilaian terhadap gambaran – gambaran tersebut dan mohon untuk dikoreksi…..!

Yang jelas, tanpa harus melakukan saling menyalahkan, yang pertama kali harus melakukan pembenahan adalah sector regulatornya terlebih dahulu, mungkin dapat dilakukan dengan melakukan pembenahan ke dalam terhadap unsure – unsure yang selama ini memungkinkan untuk  terjadinya tindakan – tindakan  yang dapat menurunkan  kewibawaan Dephub dalam melakukan pengawasan penerbangan. Peningkatan kesejahteraan harus ditingkatkan dan menjadi pembenahan utama disamping dilakukan juga mekanisme, system control yang ketat dalam internal Dephub sendiri. Misalnya mungkin dengan membuat standar kepatuhan yang dibarengi dengan proses audit terhadap berjalannya prinsip kepatuhan tersebut. Kemudian petugas yang menerima suap harus dikenai sanksi yang berat dan kalau perlu status PNS-nya dicopot, yang paling ekstrem mungkin KPK harus masuk sebagai upaya shock terapy untuk menstimulasi upaya perbaikan dari dalam. Sehingga jika mekanisme sudah dapat berjalan baik di jajaran birokrasinya maka, kita dapat mendefinisikan sampai dimana factor kesalahan manajemen maskapai. Kemudian kekhawatiran fluktuatifnya minyak dunia terhadap dunia penerbangan nasional mungkin dapat diminimalkan.

Sangatlah logis ! jika birokrasi yang tidak tertata dengan baik, justru itulah yang dapat menyebabkan bangkrutnya industri penerbangan nasional. Diperlukan satu visi dan niat untuk segera merombak pandangan dan membentuk budaya baru sehingga dapat melakukan fungsi yang sebagaimana mestinya dari sebuah birokrasi yang nantinya dapat dengan serta berperan dalam menjalankan perputaran ekonomi nasional.

Jakarta, 10 Juli 2008
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution