Kamis, 10 Desember 2009

9 / 12, Jalan Keluar atau Ritual

Jika kita kembali mencermati pernyataan SBY terkait aksi hari anti korupsi sedunia 9 Desember kemarin, dimana menyatakan adanya upaya penjatuhan dirinya di balik aksi nasional tersebut. Di dalam sebuah dinamika politik, saya melihat hal tersebut merupakan suatu hal yang lazim terjadi dalam konteks “ balance of power ”. Artinya korupsi masih merupakan tema yang menjadi primadona dalam usahanya untuk melakukan penggantian kekuasaan di negeri ini.

Masih menjadi pertanyaan buat saya terhadap agenda 9 / 12 ! Sampai dimana efektifitasnya untuk dapat merubah karakter bangsa ini sebagai negeri yang korup ? Sementara tidak bisa dinafikan kemungkinan adanya motif lain di balik keikutsertaan tokoh-tokoh politik dan tokoh masyarakat dalam aksi kali ini. Yang pada momen – momen sebelumnya tidak pernah terlihat dukunganya dalam pemberantasan korupsi. Sehingga apakah aksi pada hari ini merupakan salah satu jalan keluar untuk dapat terus menekan pemberantasan korupsi atau hanya merupakan ritual dari sebuah seremonial konspirasi politik terkait dengan batu sandungan yang tengah dihadapi oleh SBY ?

Ketika kita berbicara akar persoalan yang membuahkan korupsi  sebagai budaya, sejumlah alas an yang dikemukan oleh para pakar dan pengamat mengenai hal tersebut, baik dari sisi hukum, aparatur maupun kepemimpinan lebih menunjukan bahwa  secara kepribadian bangsa ini tidak siap untuk menjalankan konsep bersih dari perbuatan korupsi. Apa yang terjadi, ketika visi kenegarawanan SBY dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih masih mendapat resistensi yang cukup kuat dan hal itu datang dari aparat penegak hukum yang terlibat dalam  kasus yang terungkap melalui rekaman di MK. Artinya tidak bisa dipungkiri, jika realita yang dihadapi saat sekarang ini, memerlukan waktu yang panjang untuk dapat memetik panen adanya system pemerintahan yang bebas dari korupsi.

Pendidikan sebagai jalan keluar
Saya berharap adanya renungan yang lebih mendalam bagi diri saya sendiri dan juga bagi tiap – tiap yang terlibat dalam aksi 9 / 12. Dimana letak kesalahan yang paling hakiki selama ini, sehingga korupsi begitu memiliki akar yang kuat dan telah menjadi budaya. Dan juga apa yang telah menstimulant sehingga menjadi kondisi yang demikian.

Dalam konteks ini, gagasan sejarawan Inggris Arnold J Toynbee mengenai kebudayaan perlu kita renungkan bersama. “ Bahwa pendidikan merupakan ibu kandung dari kenyataan hidup ( budaya ) “ Tingginya sebuah kebudayaan merupakan hasil dari pola pendidikan yang memenuhi standar nilai dan harga. Dan telah menempuh waktu yang cukup lama untuk mencetak sebuah generasi yang diharapkan.  Oleh karena itu gambaran keberhasilan kenyataan hidup itu ditentukan oleh keberhasilan pendidikan yang ditanamkan.

Sehingga apakah jalan keluar bagi negeri korupsi ini adalah dengan memperbaiki pola pendidikan yang sudah berjalan ? Saya kira khalayak umum sudah sangat memahami hal tersebut. Ketika pemerintah melalui KPK memberikan rekomendasi program pendidikan anti korupsi dari mulai TK hingga SMA bahkan perguruan tinggi, jika dilihat dari struktur silabus materi pendidikannya kurang lebih sama dengan pendidikan Agama, pendidikan Budi Pekerti dan kewarganegaraan. Sehingga kembali menimbulkan pertanyaan, ketika pendidikan anti korupsi ini berkembang apakah pendidikan ini akan efektif ? mengingat di sekolah juga ada pendidikan agama dan kewarganegaraan yang tidak mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan kepribadian siswa. Oleh karena itu, dalam hal ini saya hanya ingin mengingatkan bahwa indoktrinasi yang paling penting dalam proses pendidikan tersebut adalah keluarga.

Ketika kita jauh melangkah dengan menyalahkan system yang sudah ada sebagai penyebab membudayanya korupsi, mungkin kita sedikit melupakan bagaimana memberi pola atau contoh sebagai orang tua dalam menanamkan nilai kepada anak – anaknya untuk membatasi terhadap sesuatu yang bukan menjadi haknya,
Ibarat menulis dalam sebuah batu, jika kita sebagai orang tua, mampu menanamkan nilai – nilai pendidikan mengenai persoalan korupsi dengan baik kepada anak – anak kita sejak dini, maka hal tersebut akan selalu diingat jika individu yang bersangkutan menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat kelak.

Saya kira contoh kecil tersebut, mungkin tidak terdapat dalam implementasi pendidikan keluarga terhadap pihak – pihak yang terlibat dalam perilaku tindak korupsi saat ini. Disamping itu, kita juga perlu mencari tahu apa yang menyebabkan nilai – nilai pendidikan tersebut tidak sampai. Dan bagaimana caranya untuk dapat mengubah pola pendidikan di keluarga yang sudah terpola selama ini, agar kita  bisa melihat perubahan karakter, menjadi bangsa yang bebas korupsi.

Saya berharap momen 9 / 12 ini bukan hanya untuk memperingatkan pemerintah mengenai gagasan dan tindakan dalam pemberantasan korupsi. Tetapi ketika kita turun ke jalan dengan membawa semangat nilai – nilai anti korupsi, masing – masing pribadi yang terlibat aksi, sudah dapat mengimplemantasikan nilai – nilai tersebut terhadap diri sendiri. Bagi yang sudah berkeluarga, seyogyanya istri dan anak – anaknya sudah diberikan pengertian terlebih dahulu mengenai persoalan korupsi ini. Sampai sejauh mana dampak negatifnya dalam kehidupan bermasyarakat dan memberi bentuk contoh di keluarga masing – masing untuk tidak melakukan korupsi.

Artinya jalan keluar dengan memperingatkan keluarga sebagai pihak yang terdekat merupakan hal yang paling kongkrit. Sehingga momentum 9 / 12 tidak hanya menjadi proses ritual aksi masa yang tidak jelas kelanjutannya dalam merubah citra bangsa ini sebagai negeri korupsi.

Jakarta, 9 Desember 2009
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution

Selasa, 03 November 2009

MENANTI GEBRAKAN SANG LAKSAMANA


Mulai berjalannya Kabinet Indonesia Jilid II setelah dilantik 21 Oktober lalu dan capaian dalam 100 hari kedepan menjadi hal yang ditunggu – tunggu bagi setiap kalangan terhadap kinerja para menteri terhadap komposisi yang cenderung lebih banyak terisi oleh politisi – politisi partai.

Untuk Departemen Perhubungan dimana dalam hal ini Presiden menunjuk Purnawirawan Angkatan Laut Freddy Numberi, memang terlihat adanya upaya dari pemerintah untuk dapat meningkatkan mentalitas birokrasi di jajaran tersebut. Proses sidak ke beberapa tempat pusat transportasi yang kemudian berbuntut digantinya Kepala Stasiun BEOS dan Kepala Pandu Pelabuhan Tanjung Priok, merupakan salah satu shock terapy yang dianggap dapat mengurai benang kusut birokrasi di sektor tersebut.

Kemudian jika dilihat dari kompleksitas persoalan yang dihadapi dalam 2 tahun terakhir di sektor penerbangan, upaya pemerintah di sektor ini, jelas terfokus pada bagaimana agar dengan segera Indonesia terbebas dari sangsi pelarangan terbang Uni Eropa terhadap maskapai nasional. Transisi pucuk kepemimpinan di Dephub, setelah tragedi Adam Air, cenderung mengkedepankan sosok professional yang sangat memahami dunia aviasi sehingga pembenahan yang sudah dilakukan di sektor transportasi udara, sangat memerlukan kecakapan bagi Menteri penerusnya dalam penanganan aparatur birokrasi terhadap optimilasisasi standar yang sudah ditetapkan di sektor penerbangan dan juga pemahaman territorial khususnya  dalam pengembangan transportasi Indonesia.

Menjadi persoalan yang unik saat sekarang ini untuk penerbangan kita, setelah kita melewati fase melambungnya harga minyak dunia di pertengahan 2008 dan pasca bebasnya Indonesia dari larangan terbang. Implikasi terhadap diberlakukan UU No 1 Tahun 2009 menimbulkan persoalan baru sebagai proses adaptasi dari pemberlakukan UU tersebut. Turunnya insiden kecelakaan penerbangan merupakan nilai positif, sementara Survival of The Fittest karena konsekweksi UU tersebut seakan membatasi jumlah maskapai yang beroperasi, akibatnya fuel surcharge menjadi persoalan yang diindikasikan menjadi sebuah kartel diantara maskapai yang memberlakukan tarif tersebut sehingga menghambat pemerintah untuk mendorong penerbangan bertarif murah. Dan persoalan lain juga adalah terhambatnya investasi di sector penerbangan untuk skala premium karena factor kepemilikan armada yang belum sesuai dengan regulasi.

Dari beberapa persoalan tersebut, inisiatif pemerintah untuk menjaga kestabilan kinerja di Departemen tersebut sangatlah baik. Karakter yang tegas merupakan harapan terhadap menteri yang baru  untuk mengawasi kinerja di bawahnya terhadap tanggung jawab keselamatan penerbangan karena maskapai sekelas Garuda pun ternyata masih mengalami insiden lepas ban yang terjadi Jumat lalu. Disamping itu pemerintah harus dapat mengatur pemberlakukan fuel surcharge dengan menggunakan perhitungan formula baku yang pada ujungnya dapat menghapus pemberlakuan fuel surcharge pada maskapai penerbangan. Dan itu kembali terhadap factor ketegasan artinya ada punishment terhadap yang melanggar aturan tersebut jika memang ditemukan adanya indikasi Fuel Surcharge dijadikan sumber pendapatan bagi maskapai. 

Fenomena yang berkembang saat sekarang ini adalah maskapai cenderung beralih konsep ke penerbangan Low Cost Carrier sebagai respon terhadap kondisi krisis global, orientasi ini mungkin akan semakin menguat jika segmen pasar bawah yang di jaring akan lebih luas untuk meningkatkan jumlah orang bepergian menggunakan pesawat. Depresiasi rupiah sebagai dampak yang fluktuatif juga menjadikan maskapai kita tidak mudah untuk melakukan peremajaan armada sehingga dengan pemakaian pesawat yang berusia tua, konsumsi bahan bakar akan lebih banyak dan Fuel Surcharge yang ditetapkan akan lebih mahal dari maskapai asing.
Karena persoalan tekhnis, regulasi dan juga politis dalam dunia penerbangan kita sangat berkaitan erat, sangat diharapkan gebrakan dari Sang Laksamana untuk dapat lebih mendorong penerbangan bertarif murah. Dari penyelesaian yang telah dilakukan terhadap persoalan yang ada, kebijakan yang diberlakukan secara nyata harus dapat menyentuh kepada seminimal mungkin turunnya daya beli masyarakat sebagai dampak krisis global terhadap permintaan penerbangan.



Jakarta, 2 November 2009

Mohamad Chaidir Salamun

Media Analyst IndoSolution

Minggu, 16 Agustus 2009

Mengukur Efektifitas Media Dalam Membangun Opini Penanganan Terorisme

Setelah keterangan resmi dari pihak Polri yang menyatakan bahwa tersangka teroris yang tewas di Temanggung adalah Ibrohim, banyak pihak menjadi kecewa dan bertanya sebetulnya apa yang terjadi dalam operasi penyergapan yang dilakukan di Temanggung beberapa waktu lalu. Ketika apresiasi masyarakat luas yang ditujukan terhadap Polri karena keberhasilan operasi tersebut berubah menjadi sebuah ironi setelah berbaliknya opini masyarakat terhadap fakta yang ditemukan bahwa Noordin belum tertangkap. Dalam hal ini masyarakat mepertanyakan peran media dalam keakuratannya karena dalam liputan langsung yang dilakukan, dengan begitu yakinnya memastikan bahwa target operasi yang berada di rumah penduduk adalah Noordin M Top.

Saya kira, kita perlu mencermati kembali proses operasi yang dilakukan oleh Densus 88 dan pihak terkait seperti wartawan media televisi yang melakukan siaran langsung, kemudian efektifitas peran media dalam usahanya membangun opini publik untuk membantu penanganan yang dilakukan aparat.

Yang pertama : Saya dapat memahami maksud dari tujuan yang dilakukan oleh pihak Polri. dengan memperbolehkan dilakukannya siaran langsung oleh stasiun TV, masyarakat yang menonton menjadi tegang dan penasaran  ditambah dengan komentar reporter dan presenter bagaimana proses Densus 88 melakukan operasi penyergapan tersebut. Sehingga tingkat kepanikan diharapkan akan terjadi terhadap jaringan – jaringan organisasi Noordin yang tersebar di daerah lainnya dan akan segera mencari informasi faktual untuk memastikan apakah memang sang pemimpin sedang dalam keadaan bahaya. Ketika hal tersebut terjadi maka kemungkinan jalur komunikasi antar sel melalui telepon seluler diharapkan akan terjadi sehingga dapat dilakukan pelacakan dan yang paling minimal, pola – pola jaringan sel Noordin akan lebih mudah terpetakan.

Yang kedua : Setika keraguan mulai muncul bahwa korban tersangka yang tewas adalah bukan Noordin, media televisi banyak melakukan diskusi dengan nara sumber Ex anggota Jemaah Islamiyah mengenai seputar keberadaan, jaringan dan pola operasi yang dilakukan Noordin, menurut pengamatan saya hingga hari ini terkait dengan informasi dari para Ex nara sumber tersebut, dengan tingkat frekuensi serta jumlah nara sumber yang dimunculkan, saya kira, cukup banyak informasi yang dapat diperoleh dari diskusi yang dilakukan oleh stasiun Tv bersama nara sumber dan pengamat, sehingga masyarakat mendapat gambaran dan dapat membuat analisa sendiri mengenai keberadaan jaringan Noordin baik dari sisi pola operasi maupun tujuan dari organisasi tersebut serta kaitan keberadaan jaringan tersebut terhadap kepentingan regional negara asing terhadap Indonesia.

Yang ketiga : Seandainya aparat kita mengalami kesulitan untuk menempatkan anggotanya di jaringan Noordin M Top dalam upayanya mendapatkan informasi dengan tingkat validitas yang tinggi maka hal tersebut dapat diminimalkan dengan sampainya informasi dari para mantan anggota JI melalui diskusi yang dilakukan di Tv, untuk dapat membangun kepekaan masyarakat sebagai bentuk peringatan dini dari upaya tindak kekerasan yang akan dilakukan jaringan Noordin, efektifitas pembangunan opini tersebut terlihat dengan penemuan bahan peledak di Cimahpar bogor, melalui laporan masyarakat.

Yang keempat : Tingkat penanganan yang belum menyentuh akar rumput dapat terlihat dengan mutasi yang sudah terjadi dalam tubuh organisasi Noordin dengan terungkapnya Saefudin Jaelani sebagai perekrut bom bunuh diri kemudian keterlibatan kembali Air Setyawan yang disinyalir akan melakukan aksi teror, hal itu menjadi titik terlemah yang diketahui oleh jaringan Noordin. Peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam proses ini, tetapi masyakarat juga memerlukan gambaran nilai – nilai humanisme yang harus ditampilkan sehingga resisten terhadap bibit – bibit kemunculan ideologi jihad. Secara psikologis perlakuan humanis terhadap keluarga teroris akan berpengaruh terhadap pelaku teror lainnya. Hal tersebut juga memacu percepatan pemerintah untuk segera membuat perangkat kontra indoktrinasi penanganan pasca penegakan hukum, sehingga pola yang dilakukan menjadi utuh. Melalui pembangunan opini yang dilakukan oleh media, dapat menjadi jalan tengah untuk memberikan edukasi bagi masyarakat bagaimana melakukan proses tersebut.

Dari poin – poin tersebut, terkait dengan peringatan keras yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, terhadap reality show penyergapan di Temanggung, karena dianggap menimbulkan demonstration effect sehingga tidak menentunya persepsi publik dan juga dianggap menghambat kinerja Polri, saya tetap mengambil  sisi positif terhadap tayangan – tayangan stasiun Tv tersebut, karena bagaimanapun juga, saya berpikir pihak korporasi stasiun Tv yang bersangkutan telah menjalankan fungsi tanggung jawab  dalam konsep pertahanan dan keamanan nasional.

Kita melihat bagaimana angkatan bersenjata amerika secara berbarengan bahu membahu bekerja sama khususnya dengan stasiun CNN meliput secara langsung serbuan untuk menggulingkan Saddam Husein, yang menelan banyak korban. Dari situ peran media tidak dapat dipisahkan dari hal – hal strategis terkait dengan kepentingan sebuah negara apalagi persoalan pertahanan & keamanan nasional.

Merupakan konsekuensi logis jika media dianggap terlalu jauh dalam melakukan pembentukan opininya, tetapi hal tersebut tidak bisa disalahkan begitu saja kepada pihak media yang bersangkutan karena masih banyaknya kelemahan pemerintah dalam upaya penanganan terorisme.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana untuk menentukan standar prosedur liputan yang beretika dan profesional sehingga keseimbangan pemberitaan tetap terjaga. Karena bagaimanapun juga media harus diikutkan dalam penanganan terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa ( Extra Ordinary Crime ).
Terlebih yang tewas dalam operasi tersebut adalah Ibrohim dan bukan Noordin sebagaimana dugaan awal, sehingga saya berharap dari fakta yang terungkap tersebut dan pembangunan opini yang terus dilakukan, masyakat menjadi lebih tergugah dan menyadari potensi bahaya dari kekuatan dan kemampuan jaringan Noordin M Top untuk menjadikan bahwa terorisme ini adalah musuh bersama.
Jakarta, 16 Agustus 2009
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution

Kamis, 30 Juli 2009

Kemungkinan Perubahan Geopolitik dan Perekonomian Afrika Bagi Dunia Usaha Indonesia

Perjalanan Barrack Obama mengunjungi benua hitam Afrika untuk pertama kalinya pasca terpilih menjadi Presiden Amerika menarik untuk dicermati terhadap potensi investasi yang sangat mungkin dikembangkan oleh barat dan juga kaitannya terhadap pengembangan investasi dunia usaha Indonesia di benua tersebut.  Potensi tersebut disinyalir semakin menguat dengan melihat genologi sang Presiden dan memiliki hubungan emosional ras hitam benua Afrika dan juga peta perubahan peradaban setelah secara perlahan wajah Eropa berubah menjadi pengabut sistem kapitalis murni setelah keruntuhan Uni Soviet dan juga perubahan peta politik di Timur Tengah sebagai dampak dari suksesi kepemimpinan di Irak. Dalam hal ini, saya kira memang patut juga untuk dicermati sebagai cermin masa depan Afrika dari sisi Geopolitik dan Perekonomiannya dimana perjalanan perubahan dunia dari dekade ke dekade yang berkaitan dengan pergantian kepemimpinan negara Amerika sebagai adi daya saat ini. Menyoroti perubahan yang terjadi sejak pemerintahan Reagen, Goerge Bush, Clinton dan George W Bush, dimana secara signifikan memplot perubahan peradaban sesuai dengan kebutuhan dari perjalanan  negara adi daya tersebut hingga memunculkan China sebagai salah satu calon kuat Blok Timur sebagai penantang Amerika untuk peranannya dalam perjalanan peradaban ini. Disamping itu, kepentingan di balik isu terorisme dengan bayang – bayang trauma perang salib memang sangat efektif untuk mendukung perubahan yang diharapkan di Timur Tengah dan juga berdampak global ke seluruh dunia termasuk Indonesia yang sangat merasakan dampaknya akibat perubahan tersebut. Sementara kehadiran Obama memang sudah diprediksikan dapat memecah kebuntuan komunikasi antara Islam dan Barat sebagai akibat kebijakan rezim sebelumnya, dan juga Geopolitik dunia.  Di satu sisi faktor genelogi yang dimiliki sang presiden diprediksi menjadikan perubahan yang terjadi pada saat ini secara perlahan mengarah ke benua hitam Afrika.

Pemetaan Masa Depan

Dari sedikit cerita diatas, Ada dua hal yang saya garis bawahi yang mana dapat diasumsikan sebagai Blue Print untuk perkembangan di Timur Tengah dan Afrika di masa rezim Obama ini. Yang pertama adalah rekonsiliasi kepemimpinan di Irak yang kemudian diikuti dengan masuknya korporasi – korporasi barat dalam rangka investasi di Timur Tengah. Yang kedua, setelah tercapainya kesepakatan terhadap penyelesaian konflik Irak tersebut maka akses menuju Afrika akan menjadi lebih mudah sehingga benua tersebut dapat dijadikan sebagai Travel Basic barat untuk dapat mengantisipasi bangkitnya China sebagai penantang Blok Barat. Jika kita mencermati statement di sebuah surat kabar kemarin, bahwa Eropa menyediakan USD 560M untuk Afrika dan Timur Tengah dalam rangka mengembangkan ladang energi listrik tenaga surya di Afrika dan Timur Tengah, untuk bisa memenuhi 15 % kebutuhan energi listrik Eropa pada tahun 2050. Pesan dari isu tersebut menunjukan bahwa sangat dibutuhkan pemetaan masa depan global sebagai implikasi dari gesekan yang ada, sehinggga dengan mengidentifikasikan rencana strategis maupun skenario yang dibangun oleh negara – negara maju, Indonesia dapat sedini mungkin mengenali keunggulan dan kelemahan dirinya dalam persaingan pasar Global. Dengan melakukan sosialisasi isu – isu strategis berskala internasional sehingga masyarakat Indonesia terutama kalangan dunia usaha mempunyai gambaran yang jelas mengenai konstalasi berbagai kekuatan  berskala global baik berupa negara maupun aktor non – negara. Mungkin dalam hal ini untuk kalangan dunia bisnis, saya rasa perlu untuk mengingatkan terhadap scenario buliding dari negara – negara Adidaya untuk tahun 2010 mendatang.

Posisi Stratetegis Indonesia. 

Bagaimana menyikapi perkembangan situasi global tersebut diatas ? dalam hal ini agak sedikit disayangkan jika dalam kampanye Capres 2009, kemarin tidak mengagendakan isu tersebut secara mendalam, padahal Amerika secara khusus menempatkan Indonesia dalam prioritas politik luar negeri mereka. Hillary Clinton melakukan kunjungan ke Indonesia setelah melakukan lawatan ke Jepang sehingga prioritas Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan China atau Korea Selatan. Terlepas dari pandangan negara adi daya tersebut terhadap Indonesia sebagai sekutu strategis, Indonesia sudah seharusnya memandang perkembangan global ini secara aktif. Ucapan selamat yang dilakukan Barrack Obama terhadap kemenangan Presiden SBY versi quick count, meski mendapat kritik karena dinilai masih terlalu dini, dalam pemilu kali ini, sedikit banyak dapat diartikan sebagai pesan bahwa masih banyak yang harus segera dikerjakan bagi kepentingan kedua negara saat ini. Sementara jika dilihat terhadap kecenderungan investasi kita di Benua Afrika, konsentrasi investasi Indonesia di Afrika, selama ini lebih banyak tertuju kepada negara Afrika Selatan. Sehingga dengan kunjungan Barrack Obama ke Ghana, akan lebih banyak alternatif bagi Indonesia dalam melakukan investasinya di Benua Afrika. Faktor frekuensi transportasi, jarak yang jauh mungkin dapat menjadi kendala yang utama, tetapi jika prospek dalam melakukan investasi semakin membaik seiring dengan perkembangan yang terjadi, maka dukungan perbankan yang selama ini menjadi kendala mungkin akan lebih mudah dalam mendukung investasi kita di Afrika.
Saya kira, yang paling penting dari semua ini adalah para pemangku kepentingan baik dari kalangan bisnis maupun bidang politik luar negeri dapat berkumpul dan berdialog bersama dalam merumuskan agenda strategis untuk memaksimalkan potensi  kepentingan – kepentingan Indonesia dari perubahan – perubahan global yang terjadi dan sorotannya dalam hal ini adalah terhadap perubahan yang terjadi di Afrika.

Jakarta, 30 Juli 2009
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution

Rabu, 29 Juli 2009

Kebutuhan Biologis Sang Teroris Sebagai Pintu Masuk Pengungkapan

Banyaknya pemberitaan di media televisi yang menayangkan penangkapan dan interogasi terhadap sejumlah istri Nurdin M Top, cukup membuat decak kagum bagi saya terhadap sang teroris, betapa tidak, terlepas dari kondisi sebagai buruan tersangka teroris, sang pelaku masih dapat melakukan pemenuhan kebutuhan biologis dan dilakukan secara sistematis tanpa dapat dilacak oleh pihak aparat kita. Kita dapat memahami terhadap pola pernikahan yang dilakukan oleh Noordin, karena merupakan upaya untuk menyamarkan diri dari kejaran petugas sehingga dengan melakukan pernikahan dengan warga setempat sosialisasi Noordin dapat lebih mudah untuk tidak dicurigai, disamping kemudahan dalam mengembangkan sel jaringannya karena mendapat akses langsung ke masyarakat.

Terhadap apa yang telah dilakukan oleh Noordin dari beberapa pernikahannya yang dapat diungkap, ada beberapa hal yang saya garis bawahi dan juga saya merasa prihatin dengan fenomena yang terjadi di masyarakat terhadap kejadian tersebut.

Yang pertama dan kemudian yang mungkin dapat dikembangkan dimana pemenuhan kebutuhan biologis dari sang teroris merupakan hal yang tidak dapat dibantah dari si pelaku. Dan saya menduga, ini dapat menjadi kebutuhan yang paling mendasar terhadap Noordin dibalik rencana tujuan pengembangan organisasinya. Jika benar dia adalah seorang fundamental tulen yang benar – benar menjalankan prinsip agama tanpa reserve, maka, Noordin akan sangat memahami dan juga menjalankan hal tersebut sesuai dengan ajaran yang dia yakini. Sehingga hal itu menjadi dasar, terhadap pola – pola yang dilakukan oleh Nurdin untuk mengatasi persoalan kebutuhan biologis tersebut.

Yang kedua, dalam melakukan pelarian nya di daerah, saya memiliki keyakinan, Noordin tidak melakukan perjalanan sendiri ke setiap titik selnya. Artinya ada orang – orang yang sangat kecil memiliki kemungkinan untuk berkhianat kepada dirinya dan selalu berada di sisi Noordin ketika kemanapun Noordin pergi, dari premis ini, saya kira tidak hanya Noordin yang melakukan pernikahan di daerah, tetapi orang – orang yang sangat dipercaya olehnya pun akan melakukan hal serupa, sehingga komunitas yang terjalin akan lebih kuat lagi. Disini saya melihat dari beberapa pernikahan yang dapat diungkap, seperti dengan istri kedua Noordin Munfiatun, yang pernikahannya dilakukan di Surabaya dan melakukan perjalanan hingga ke tretes yang merupakan daerah wisata, kemudian pernikahannya di Cilacap dan yang terakhir yang dapat diungkap di Leuwiliang Bogor. Menunjukan setiap titik tersebut memiliki kemudahan akses untuk lari ke laut  bagi si pelaku jika situasi yang dihadapi mengharuskan mereka lari. Sehingga sangat mungkin Nurdin juga melakukan pendekatan juga terhadap kampung nelayan sebagai akses untuk mengatur kebutuhan logistik bagi jaringannya.

Yang ketiga, saya melihat disini merupakan sebuah fenomena dimana begitu mudahnya karakter budaya kita menerima keberadaan sang teroris untuk dapat melakukan pembauran menjadi suatu ikatan keluarga. Apa yang menjadi dasar sehingga semua ini bisa terjadi ? Yang pasti latar belakang keluarga yang orang tuanya merestui anaknya melakukan proses ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk bisa membongkar kultur yang dianggap dapat menyemaikan ekstremisme. Sehingga kita semua bisa mendapatkan jawaban yang jelas, apakah orang tua pihak perempuan melakukan hal ini karena alasan kemiskinan atau alasan keyakinan dan ideologis.

Dari ketiga hal tersebut, jika sebagian masyarakat kita melakukan hal permisif terhadap kegiatan yang dilakukan oleh para teroris tersebut maka, apa yang telah dilakukan oleh aparat selama ini dengan melakukan penangkapan terhadap sejumlah pelaku teror seolah terlihat tidak berarti. Hal itu karena, persemaian yang dilakukan dalam cultur yang acceptable, akan lebih menjadikan organisasi tersebut lebih survive karena telah berhasi melewati masa – masa kritisnya, sehingga alternatif untuk melakukan rangkaian aksinya akan lebih terpola dibanding sebelumnya.

Pendekatan yang dilakukan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan terhadap para orang tua untuk memberikan edukasi kepada anak – anak bahwa terorisme itu adalah kejahatan kemanusiaan sangatlah tepat. Tetapi disini peran Menteri Pemberdayaan harus lebih didorong untuk dapat masuk ke pesantren – pesantren yang diduga memiliki afiliasi atau persamaan ideologis dengan gerakan Noordin kemudian melakukan pemetaan terhadap pola – pola pernikahan Noordin, yang berdasar temuan lebih banyak dilakukan di pulau Jawa. Bagaimana kondisi berpikir mayoritas perempuan di daerah – daerah yang menjadi tempat untuk melakukan ikatan keluarga. Sehingga mungkin masyarakat di daerah pesisir dapat menjadi prioritas untuk dilakukan terhadap proses ini.

Jika pemahaman terhadap kondisi internal sosio – anthropologi daerah yang menjadi transit para teroris dapat dilakukan, maka akan lebih mudah untuk dapat melakukan counter ideologis dan hal itu akan lebih dapat memaksimalkan pencegahan terhadap perulangan tindakan – tindakan anakis. Dan dapat diawali dari kebutuhan biologis sang teroris sebagai pintu masuk pengungkapan.
Kita segera harus memecahkan teka teki ini, apakah sumber kekuatan Noordin, sehingga tetap bisa melaksanakan operasinya dan menikahi perempuan Indonesia?  Apakah kekuatan uangnya sehingga banyak yang miskin dan bodoh tergoda? Jika ya ! maka kemiskinan dan kebodohanlah yang harus segera diselesaikan pemerintah. Apakah kekuatan idiologis dan keyakinannya sehingga ia didukung banyak pihak dilapangan dan ini sebagai senjata mendapatkan dukungan perlindungan, perkawinan dan mungkin logistik dilapangan. Apakah ada pihak yang kuat dibelakangnya, ada di Indonesia atau diluar negeri? Apakah itu negara atau kelompok?

Selamat berjuang Pak Polisi dan ajakan Kapolri untuk melibatkan masyarakat mari kita tindak lanjuti. Dengan catatan jangan seperti air banjir setelahnya sepi tanpa inti dan hasilnya malahan bencana. Kita serahkan kepada ahlinya kita bantu kondisikan supaya Indonesia semakin membaik.
Jakarta 29 Juli 2009.
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst Indo Solution

Kamis, 23 Juli 2009

Haruskah Kita Terus Menyalahkan BIN dan Polri ?

Mencermati wawancara dengan mantan Kepala Densus 88, BrigJen Suryadarma Salim, di sebuah stasiun TV selasa malam lalu, yang dengan keyakinan dan berdasarkan pengalamannya selama ini di lapangan, mengatakan bahwa Al Qaeda terlibat di balik peledakan bom di JW Marriot hari Jumat pagi lalu, dari mulai logistik hingga para operator lapangan. Jika berdasarkan fakta yang selama ini ditemukan oleh mantan Kadensus 88 itu, dalam pemaparannya mengenai kondisi geopolitik dan geostrategis Indonesia dalam rangka grand design dari Al Qaeda dalam konteks terorisme global, sangatlah wajar jika organisasi tersebut menjadikan Indonesia sebagai target utama bagi kepentingannya dalam rangka melawan hegemoni barat.

Saya kira jika kita mencermati perjalanan sejarah yang berkembang selama ini, organisasi Al – Qaeda akan tetap ada untuk menjawab tantangan terhadap konlik – konflik yang berkembang, hal tersebut beriringan dengan tantangan negara – negara maju untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dengan menggali sumber daya di negara – negara lain. Kejenuhan aksi teror di Asia Selatan dan Timur Tengah dan upaya yang intensif dari pasukan internasional terhadap aksi teror di Afganistan dan Pakistan, menjadikan Indonesia lebih mudah sebagai travel basic bagi organisasi tersebut melalui jaringannya yang lain.

Sementara, Al Qaeda mencari sebuah panggung yang merepresentasikan simbol barat untuk memiliki gaung global yang kuat jika dilakukan letupan, dan sangat mungkin dilakukan dengan jaringan yang masih dapat dipercaya dan masih tetap eksis di Indonesia seperti Jemaah Islamiyah. Hal tersebut didukung oleh kondisi geografis kepulauan Indonesia dimana merupakan celah yang sangat mungkin dilakukannya target operasi teroris, kemudian juga kita masih memiliki persoalan mendasar dalam catatan administrasi kependudukan.

Yang sangat menarik bagi saya adalah pemaparan Bapak Suryadarma mengenai penanganan pasca operasi atau rehabilitasi bagi suspected teroris untuk kembali menjadi masyarakat biasa setelah menjalani masa hukuman. Hal tersebut dapat dikatakan belum menjadi sebuah pola yang sistematis bagi institusi yang berwenang di negara ini dalam penanganan tersangka kasus terorisme. Jika kita mengkedepankan langkah persuasif ( Soft Power ) dalam menghadapi terorisme, tanpa mengkedepankan tindakan represif ( hard power ), saya kira orang – orang yang terlibat dalam aksi – aksi teror akan mau membongkar apa yang diketahui tentang jaringan mereka, jika istri dan anak – anak mereka diperlakukan secara humanis dan memiliki kesamaan persepsi dalam tata nilai ideologi.

Untuk itu, harus dipahami bahwa pola budaya masyarakat kita yang cenderung menerima dengan mudah terhadap proses akulturasi budaya sehingga dapat dikatakan kita memiliki sense of intelligence yang minim, di satu sisi perilaku tersebut menimbulkan sulitnya bagi masyarakat, membantu suspected teroris kembali menjadi masyarakat biasa karena masyarakat belum dapat menerima dampak yang ditimbulkan dari aksi – aksi teror si pelaku serta cara berpikir yang dimiliki oleh invididu yang bersangkutan. hal tersebut perlu digaris bawahi karena, konsep memandang terorisme sebagai sebuah gerakan dengan basis ideologis merupakan hal yang harus dipahami oleh masyarakat kita karena untuk dapat memutuskan jaringan dari gerakan tersebut membutuhkan ketekunan yang cukup alot.

Pola – pola persuasif yang seperti itu saya kira akan cukup efektif untuk dapat membentuk resistensi terhadap pergerakan dari sel – sel jaringan teroris untuk dapat membangun sebuah basis operasinya. Saya kira disini akan tercipta sebuah hubungan simbiosis yang saling menguntungkan, karena peran intelijen akan sangat membantu dan juga terbantu walaupun konteks operasinya yang berbeda akan tetapi sinergi dengan masyarakat terhadap tujuan yang sama, saya kira akan dapat dilakukan jika kita dapat melakukannya dengan baik dengan mekanisme yang sistematis. Luasnya wilayah kita dari Sabang sampai Merauke menunjukan bahwa tidak mungkin jika penanganan untuk sebuah kejahatan yang memiliki akar ideologis dan gerakan secara sistematis hanya mengandalkan BIN dan juga Densus 88.

Kita semua harus berkaca dari tragedi – tragedi jatuhnya pesawat militer yang terjadi beberapa kali, sebagai bukti minimnya anggaran yang dimiliki institusi terkait untuk dapat menyelengarakan sistem pertahanan nasional. Hal ini juga jelas akan dirasakan oleh BIN sebagai lembaga dalam memberikan peringatan dini. Kendala operasional menjadi masalah utama bagi lembaga tersebut dalam menjalankan fungsinya. Artinya bagaimana seorang ” agen rahasia ” menjalankan fungsinya melakukan operasi tertutup jika logistik yang mendukungnya sangat terbatas, sementara dalam dunia mata – mata, dukungan logistik merupakan salah satu jaminan suksesnya suatu operasi yang dijalankan.

Apa yang terjadi di institusi BIN akan sangat mudah diketahui oleh pihak lawan dalam hal ini organisasi teroris, sehingga membangkitkan optimisme bagi lawan terlaksananya operasi teror dengan sukses. Konsentrasi yang terpecah dalam rangka pengamanan pemilu dan dana operasional yang dirasakan cukup terbatas, merupakan kondisi yang harus dipahami oleh kita semua.

Saya kira aparat telah melakukan berbagai langkah antisipasi sehingga tidak ” kecolongan ” namun itu semua perlu dukungan rakyat. Rakyat juga harus perduli  terhadap situasi kemanan di sekitarnya. Walaupun begitu tetap harus dilakukan evaluasi terhadap internal badan intelijen kita dan Polri  sehingga tetap solid dalam melakukan penanganan dari aksi – aksi terorisme.

Jakarta, 22 Juli 2009.
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution

Jumat, 26 Juni 2009

Bercermin Dari Krisis Politik Iran

Krisis politik yang sedang terjadi di Iran dan berlangsung hingga hari ini, menarik untuk dicermati oleh bangsa Indonesia sebagai sesama bangsa muslim dalam menghadapi tantangan bangsa ini di masa mendatang. Kita memiliki perbedaan yang mendasar dengan bangsa Iran dimana perjalanan sejarahnya menjadi penentu sistem pemerintahan yang dijalankan pada saat sekarang ini. Proses terbentuknya sistem ketatanegaraan bangsa tersebut hingga hari ini, tidak terlepas dari perjalanan Iran dalam menuju kearah sebuah negara demokratis dan juga peran Iran dimasa lampau dalam membentuk karakter peradaban dunia hingga saat sekarang ini. Sehingga apa yang telah dimiliki oleh Iran saat ini, merupakan salah satu yang paling dikhawatirkan oleh barat dimana merupakan sebuah pola yang terbentuk dan berlangsung secara sistematis terhadap peran Iran dahulu baik sebagai bangsa Persia lama ketika sebelum masehi dan zaman setelah munculnya dinasti Muawiyah pasca pemerintahan kekhalifahan Ali. Hal tersebut sepertinya menjadi karakter tersendiri bagi bangsa Iran yang menimbulkan kengerian bagi barat pada saat ini, seiring dengan penguasaan tekhnologi nuklir yang dimiliki oleh Iran, aroma perang salib jilid II barangkali dapat menjadi alasan yang paling kuat untuk dapat meredam potensi dampak yang paling buruk terhadap kemampuan Iran saat ini.

Naiknya kembali harga minyak dunia secara perlahan membawa keuntungan tersendiri bagi korporasi yang berkecimpung dalam bidang tersebut sehingga kepentingan sektor korporasi kapitalis Eropa serta afiliasinya dalam hal ini yang berkaitan dengan minyak menjadi pemicu untuk dapat mendapatkan akses langsung seluas – luasnya dari negara Iran. Dalam hal ini hambatan yang terbesar untuk dapat melakukan proses tersebut sekarang ini adalah rezim incumbent Ahmadinejad. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan dilihat dari sanksi yang diterapkan oleh Uni Eropa belakangan ini terhadap Iran, dampak yang dirasakan justru akan merugikan bagi perusahaan – perusahaan Eropa tersebut karena tidak dapat menikmati keuntungan ekonomi secara maksimal dari penerapan sanksi – sanksi yang ada. Sehingga negara – negara barat dalam hal ini Uni Eropa terlihat sekali menginginkan perubahan yang signifikan terhadap proses dmokratisasi yang sedang berjalan di Iran. Oleh karena itu, jika kita mencermati krisis politik yang sedang terjadi, sangat lumrah jika dilakukan penggerpolan terhadap incumbent pada saat ini, seperti yang dilakukan Amerika dan Inggris terhadap Ahmadijenad. Saya kira demonstrasi terhadap hasil pemilu yang dimenangkan oleh Ahmadinejad yang dianggap penuh dengan kecurangan oleh barat dan afiliasinya, saat ini merupakan cara yang paling logis untuk dapat mencegah Ahmadijenad kembali berkuasa, mengingat lawan – lawan dari sang incumbent sudah terwesternisasi oleh operasi – operasi intelijen yang dilakukan barat dalam hal ini dimainkan oleh Inggris yang memasang badannya untuk kepentingan yang lebih besar bagi Uni Eropa. Walaupun dalam konflik tersebut  seandainya Amerika tetap melakukan operasi tertutup, tidaklah salah jika Obama secara terang – terangan membantah keterlibatan pihaknya dengan mengatakan tidak terlibat atau tidak ada operator di lapangan yang bermain dalam krisis tersebut, karena akan sangat mungkin dapat merugikan kepentingan Amerika terhadap keikutsertaan dari krisis tersebut mengingat pada saat ini Amerika sedang berusaha melakukan pencitraan yang baik pasca kepemimpinan rezim George Bush dan merangkul Islam serta menjaga kepentingan bagi konflik di Timur Tengah dan juga dalam memerangi keberadaan milisi Taliban.

Isu hak asasi dianggap menjadi isu yang paling efektif untuk dapat memperlemah legitimasi penguasa pada saat ini. kolaborasi antara agitator – agitator propaganda dan media – media barat terutama Eropa yang begitu lihai memainkan isu tewasnya demonstran perempuan Neda Agha – Soltani, yang terus di dorong menjadi ikon demonstrasi perlawanan anti pemerintah. Saya kira begitu cepatnya konstalasi yng bergulir dimana pihak pemerintah yang berkuasa sangat mungkin tidak siap dalam menghadapi chaos yang muncul sebagai dampak dari benturan kepentingan antara kapitalis liberalis dengan islam ideologis dan penguasaan tekhnologi nuklir yang dimiliki bangsa Iran. Sementara pihak – pihak yang berkepentingan dalam hal ini negara – negara barat mungkin sudah mempersiapan hal ini sejak lama bagi pencapaian kepentingannya di negeri Iran sehingga hanya tinggal menunggu momen yang tepat untuk dapat memainkan turbulensi politik ini. Mencermati krisis yang terjadi serta penyelesaian yang dilakukan oleh negara tersebut dan juga peranan hukum dan konstitusi di Iran yang menempatkan Ali khameini sebagai pemimpin tertinggi dan Dewan Ulama menjadi menjadi badan tertinggi di atas parlemen, yang kemudian mensyahkan kemenangan Ahmadinejad dalam pemilu di negara tersebut. Jika dilihat dari perspektif katahanan nasional sebuah bangsa merupakan upaya yang sangat strategis dalam mempertahankan keutuhan bangsa tersebut dalam hal ini Iran dalam membentengi dirinya dari pengaruh asing. Dalam hal ini juga menjadi ujian bagi nasionalisme Arab di kawasan regional, dalam menyikapi krisis tersebut untuk mengakui legitimasi kemenangan Ahmadinejad dalam pemilu kali ini.

Kita memang memiliki perbedaan mendasar dengan bangsa Iran, baik dari sisi sejarah, hukum dan konstitusi. Tetapi jika mencermati terhadap peran ulama di negara tersebut dalam usaha untuk melindungi kepentingan nasionalnya, mungkin dapat menjadi pelajaran bagi kehidupan beragama di Indonesia, karena sejarah pembentukan bangsa ini tidak lepas dari peran para ulama – ulama dimasa kemerdekaan dulu. Nasionalisme kebangsaan yang merupakan pembentukan dari pemahaman sejarah, wawasan kebangsaan dan geopolitik dari para ulama – ulama kita merupakan modal dasar terhadap perlindungan kepentingan NKRI dari pengaruh asing yang masuk secara ideologis. Sehingga kewaspadaan nasional dari peran ulama sangat diharapkan dalam melindungi kehidupan beragama umatnya. Oleh karena itu krisis politik di Iran dan penyelesaiannya diharapkan dapat menjadi cerminan bagi bangsa ini terutama para ulama dalam menjaga kedaulatan NKRI baik secara wilayah dan juga secara pola pikir dari tata nilai atau pengaruh asing.

Jakarta, 25 Juni 2009
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution

Kamis, 28 Mei 2009

Penerbangan Nasional Berada Dalam Jurang Ketidakpastian

Jatuhnya pesawat angkut Hercules di Magetan Jawa Timur beberapa waktu lalu yang menewaskan beberapa perwira angkatan udara memperlihatkan kondisi riil persoalan keselamatan yang dihadapi oleh dunia penerbangan saat ini tidak hanya terjadi di penerbangan sipil, tetapi juga dalam penerbangan militer. Insiden tersebut menunjukan bahwa hampir setiap bulan di tahun ini selalu ada saja insiden dalam bentuk pendaratan darurat atau pun terjatuh karena cuaca buruk atau kondisi pesawat yang sudah tidak layak pakai sebagai dampak dari perawatan yang dianggap kurang maksimal.

Selama ini, sorotan asing yang begitu kuat karena buruknya standar keselamatan penerbangan yang ada, sehingga berdampak terhadap diberlakukannya larangan terbang di kawasan Uni Eropa, secara perlahan menjadikan kita berupaya lebih serius dalam melakukan pembenahan terhadap maskapai penerbangan sipil khususnya demi keberlanjutan penerbangan nasional di kawasan regional dalam upaya untuk membebaskan larangan terbang terhadap kawasan di Eropa. Memang jika dilihat di sepanjang tahun 2008, secara signifikan, jumlah kecelakaan pesawat sipil yang berdampak fatal terlihat menurun seiring dengan kebijakan yang diberlakukan oleh regulator, walaupun kita masih melihat adanya insiden – insiden yang kerap kali terjadi sebagai dampak dari buruknya faktor cuaca yang lebih kepada faktor human error pilot dalam melakukan pendaratan. Optimisme yang berkembang seiring dengan regulasi – regulasi yang diterapkan terhadap keselamatan penerbangan dan perubahan – perubahan positif yang terjadi pasca implementasi regulasi tersebut, tetapi dibalik itu, masih saja ada ditemukan celah dimana insiden masih terjadi sebagai bentuk regulasi yang ada masih belum menyoroti seluruh aspek keselamatan penerbangan. Sebut saja kecelakaan pesawat yang menimpa pesawat jenis Philatus PC – 6, di daerah Mimika, dimana dilaporkan pilot mengabaikan laporan kondisi cuaca  buruk yang terjadi dan memaksakan untuk terbang ke lokasi yang akan didarati, sehingga hal ini menjadi telaahan bagi kita semua terhadap regulasi kita, apakah wilayah kita yang terlalu luas dan sumber daya manusia yang kurang sehingga kita kesulitan untuk melakukan pengawasan keselamatan penerbangan hingga ke daerah. Dari situ jelas sekali terlihat bahwa visi peta jalan menuju kecelakaan nol ( Road Map Accident ) belum mampu dijaga diseluruh tempat dimana ada kegiatan penerbangan.

Sementara, menyikapi terhadap kasus insiden jatuhnya pesawat Hercules, dan jika kita menelaah terhadap kondisi penerbangan di militer khususnya TNI AU, konsekwensi logis yang terjadi jelas akan berujung kepada penilaian terhadap kondisi keselamatan penerbangan nasional secara meyeluruh dan dampak negatif di mata internasional akan kembali menguat, dimana di satu sisi kita sedang berupaya untuk menyelesaikan persoalan pelarangan terbang ke kawasan Uni Eropa. Minimnya anggaran untuk perawatan bagi pesawat militer, memang bukan persoalan baru bagi TNI AU mengingat tingkat kemampuan APBN yang dimiliki bangsa ini. Tetapi terjadinya kecelakaan fatal untuk yang kedua kalinya terhadap pesawat Hercules, mengharuskan pihak terkait dalam hal ini Departemen Pertahanan untuk lebih realistis dalam melakukan manajemen anggaran apakah akan tetap berdasarkan jumlah prajurit atau jumlah pesawat yang dimiliki. Garuda Indonesia mengalokasikan anggaran perawatan hingga 20 trilyun per tahun, bandingkan dengan TNI AU yang mengalokasikan anggaran yang hanya 4 trilyun per tahun. Sehingga dengan anggaran sedemikian minim, tidak ada lagi alasan melakukan operasional penerbangan yang melebihi kemampuan anggaran yang ada. Kepentingan yang lebih besar terhadap keberlanjutan penerbangan nasional merupakan tanggung jawab bersama terhadap semua pihak yang memiliki kepentingan dalam dunia penerbangan.

Maraknya insiden kecelakaan penerbangan sipil yang terjadi di tahun 2009 ini, masih menunjukan bahwa tingkat keselamatan penerbangan masih belum menjadi bagian dari sistem manajamen keselamatan ( safety management system ), kemudian persoalan minimnya anggaran untuk melakukan perawatan pesawat militer TNI AU, berdampak kepada naiknya human error dan kesalahan sistem. sehingga penerbangan kita untuk saat ini, masih berada dalam jurang ketidakpastian. Meski tidak ada hubungan secara langsung antara pesawat jatuh dengan anggaran, tetapi hal tersebut tidak dapat dipungkiri terhadap kesiapan pesawat untuk terbang. Saya kira apa yang terjadi dalam mekanisme penerbangan di TNI AU menjadi pekerjaan rumah tersendiri saat sekarang ini, khususnya Menteri Pertahanan dan Menteri Keuangan dalam menyikapi minimnya ketersediaan anggaran untuk menjamin kelayakan operasional armada pesawat TNI AU, sehingga melalui perubahan anggaran, dapat menjadi jalan keluar agar peristiwa ini tidak terjadi lagi.

Transparansi TNI dalam memaparkan kecelakaan pesawat sangat ditunggu masyarakat, sehingga dengan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat, DPR dan Pemerintah tentu akan mengerti apa yang dialami oleh TNI, dengan demikian keterbatasan yang ada dapat diselaraskan antara kebutuhan pokok minimal ( minimum essensial force ) dari pihak TNI AU dan kemampuan minimum keuangan ( minimum essensial funding ) yang diberikan oleh pemerintah. Tentunya transparansi yang dilakukan oleh TNI juga tidak mengganggu terhadap persoalan pertahanan dan keamanan negara mengingat sensitifitas terhadap isu yang terkait. Karena bagaimanapun juga keberlangsungan penerbangan nasional yang menjadi tolok ukur kemajuan sebuah bangsa tetap menjadi tanggung jawab kita bersama.

Jakarta, 27 Mei 2009
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution

Selasa, 24 Maret 2009

Diperlukan Dorongan Yang Lebih Kuat bagi Penerbangan Bertarif Murah

Memasuki akhir triwulan pertama tahun ini, kita melihat masih banyak persoalan dalam dunia penerbangan nasional yang belum terselesaikan, dalam hal ini, saya melihat ada 3 persoalan yang menarik untuk dicermati, persoalan mengenai penurunan penumpang, harga avtur dan pelarangan terbang. Kebijakan yang ada untuk persoalan avtur saat ini masih belum dapat mengangkat trend penurunan penumpang domestik yang terjadi. Kemudian bagaimana kaitannya dengan kebijakan pengelola Bandara yang telah menaikan tarif jasa pelayanan Bandara sehingga, dimanakah letak persoalan yang harus segera diselesaikan terlebih dahulu ? Kemudian bagaimana agar maskapai nasional dapat kembali bersaing dengan maskapai asing di tengah krisis global ini ! ataukah penerbangan domestik yang lebih dahulu didorong dengan regulasi – regulasi dari pemerintah ?

Jika dicermati dari sisi perjalanan penerbangan nasional, persoalan yang merupakan ibarat benang kusut, berawal dari begitu banyaknya insiden dan kecelakaan beruntun di awal tahun 2007 yang akhirnya berdampak pada pelarangan terbang pada pertengahan 2007 ke wilayah udara Eropa dan dibekukannya Adam Air pada awal 2008. Para pengguna jasa penerbangan merasakan dampak – dampak dari kondisi yang terjadi pada waktu itu betapa dengan hilangnya armada Adam Air dalam jumlah yang cukup banyak, menjadikan permintaan penerbangan yang meningkat dengan pelayanan armada yang lebih sedikit sehingga penggunaan transportasi udara dirasakan cukup berat pada waktu itu terutama untuk kalangan masyarakat yang terbiasa menggunakan maskapai berbiaya murah. Hal tersebut merupakan kendala dari faktor internal penerbangan nasional karena gejolak ekonomi dunia belum dirasakan secara nyata, kemudian seiring perkembangan ekonomi dunia pada waktu itu, harga minyak dunia bergerak naik sebagai respon dari kekhawatiran gejolak ekonomi yang perlahan meningkat. Naiknya harga minyak dunia menjadi beban tersendiri bagi maskapai nasional khususnya, karena penggunaan avtur yang mencapai 60 % dari biaya operasional satu sisi harga avtur sejalan dengan harga minyak dunia. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, bagi maskapai mungkin akan lebih baik dibandingkan dengan pada pertengahan tahun lalu, walaupun depresiasi rupiah tetap menjadikan maskapai harus lebih berhati – hati dalam menyusun strategi operasionalnya, tapi paling minimal, maskapai dapat melakukan recovery selepas dari himpitan beban tingginya harga minyak.

Fenomena yang berkembang saat sekarang ini adalah maskapai cenderung beralih konsep ke penerbangan Low Cost Carrier sebagai respon terhadap kondisi krisis global, orientasi ini mungkin akan semakin menguat jika segmen pasar bawah yang di jaring akan lebih luas untuk meningkatkan jumlah orang bepergian menggunakan pesawat. Berkaitan dengan hal tersebut, pemberlakuan kenaikan Passanger Service Charge ( PSC ) yang mulai diberlakukan pada 1 Maret lalu oleh bandara yang dikelola Angkasa Pura II, mungkin akan memperlihatkan kepada khalayak luas bahwa apakah masih ada persoalan lain yang dapat diselesaikan terlebih dahulu dengan tingkat kebutuhan yang lebih mendasar. Karena seiring dengan lebih banyaknya konsep LCC dipakai oleh maskapai nasional, penumpang lebih akan banyak membandingkan penggunaan transportasi udara dengan transportasi kereta karena perbedaan biaya yang relatif sedikit, misalnya untuk jalur penerbangan dari Jakarta – bandung atau Jakarta – Surabaya, Sementara, 3 bulan kedepan merupakan masa low season, artinya secara teori akan terjadi penurunan penumpang, sehingga akan jelas sekali terlihat maskapai bertarif murah dalam melakukan promosinya akan sangat mengapresiasi kepada pelanggan untuk menyiasati penurunan penumpang. Saya kira, dalam hal ini, perbaikan mekanisme dan instrumen bagi penyediaan AVTUR mungkin akan lebih memberikan dampak yang positif untuk mendorong naiknya penggunaan transportasi udara, karena sangatlah wajar dengan volume penjualan yang belum merata di Indonesia, berdampak terhadap masih mahalnya harga avtur jika dibandingkan dengan avtur yang dijual bandara di luar negeri. Depresiasi rupiah juga menjadikan maskapai kita tidak mudah untuk melakukan peremajaan armada sehingga dengan pemakaian pesawat yang berusia tua, konsumsi bahan bakar akan lebih banyak dan Fuel Surcharge yang ditetapkan akan lebih mahal dari maskapai asing.

Belum berjalannya secara maksimal regulasi terhadap keselamatan penerbangan dapat terlihat jelas dengan masih terjadinya insiden mendarat darurat Lion Air beberapa waktu lalu dan kegagalan take off pada pesawat maskapai Batavia, satu sisi kita memiliki optimisme bahwa larangan terbang yang diberlakukan oleh Uni Eropa akan segera selesai pada bulan Juni dengan penerbangan langsung maskapai Garuda ke kawasan tersebut dengan catatan persoalan yang dimiliki oleh maskapai tersebut diselesaikan secara tuntas terlebih dahulu. Dengan adanya optimisme itu, pertanyaannya adalah apakah dengan rentetan insiden – insiden kecil tersebut akan dapat membuyarkan harapan kita selama ini untuk dapat kembali terbang ke kawasan Eropa pada waktu yang telah ditentukan. Atau paling minimal kembali ditunda terkait dengan insiden – insiden yang terjadi.

Persoalan tekhnis, Regulasi dan juga Politis dalam dunia penerbangan kita memang sangat terkait erat antara satu dan yang lainnya tapi paling minimal dari penyelesaian yang telah dilakukan terhadap persoalan yang ada, secara nyata mungkin harus menyentuh kepada bagaimana untuk meminimalkan turunnya daya beli masyarakat sebagai dampak krisis global terhadap permintaan penerbangan. Sehingga lebih didorongnya maskapai dengan konsep biaya murah dengan berbagai regulasi dari pemerintah akan dapat lebih dirasakan oleh masyarakat terutama kelas bawah dan paling minimal tetap dapat mempertahankan tingkat keterisian penumpang yang sudah ada. Percepatan untuk pembangunan penerbangan perintis dengan terpola dan sistematis, juga harus lebih diefektifkan mengingat konsep kedirgantaraan kita yang masih belum jelas terhadap masuknya maskapai asing yang beroperasi di Indonesia, sehingga jika upaya tersebut dapat direalisasikan, untuk menyelesaikan persoalan yang bersifat politis seperti larangan terbang akan dirasakan lebih efektif. Karena hal tersebut ( Larangan terbang ) sangat berkaitan dengan kepentingan dari negara yang bersangkutan terhadap kondisi krisis global yang sedang dihadapi pada saat ini oleh kawasan tersebut.

Jakarta, 23 Maret 2009
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analys Indo Solution