Rabu, 14 Desember 2011

Tekanan Nyata dan kuat atau Simptom biasa yang akan selesai ?……

I.Tanda tanda yg sederhana terlihat.
Berita Freeport awalnya muncul disedikit media dan awalnya dalam beberapa diskusi bisa jadi diakibatkan karena iklan freeport dibeberapa media tidak dilanjutkan. Demonstrasi dan pemogokan karyawan freeport menjadi berita yang menindaklanjuti setelah sebelumnya berita penembakan Mile 152 ?…berulang kali muncul dan menimbulkan korban jiwa.
Berita yang kemudian muncul adalah mengalirnya dana freeport ke aparat keamanan Indonesia yg besarnya 14 juta dollar dan dijawab sebagai ongkos kebutuhan operasi pasukan pengamanan dilapangan dan ternyata ketika dihitung….timbul persoalan baru karena seperti nya mengalirnya tidak hanya kepada pasukan dilapangan?…
Kasus freeport sudah lama mengandung ketidakpuasan termasuk sampai kepada komposisi saham pemerintah indonesia kenapa terlalu kecil dan tidak sampai 20 atau 30%, apalagi Marwan Batubara dalam tulisannya menulis bahwa freeport berpenghasilan sampai 5000 Triliun rupiah padahal APBN Indonesia hanya Rp.1.400. Triliun atau diatas sedikit dari 25% penghasilan freeport.
Hari ini tanggal 24 Nov 2011, Armando Maher Dirut nya mengatakan bahwa saat ini produksinya terhenti karena pipa penyalurnya dijarah. Oleh karenanya kerugian setiap harinya 7000 ton konsentrat menjadi tidak bisa diproses dan diadakan dan ini bernilai jutaan dollar.
Persoalannya apakah ini hanya cerita Freeport Vs karyawannya…?…atau berkaitan dengan operasi separatisme papua juga?…….
Bagaimana bisa tidak berhubungan jika dilihat bahwa saat ini semakin gencar dan ramai bukan hanya penempatan 2500 marinir usa di Darwin Australia saja tetapi hal ini semakin menyemangati kampanye advokasi Papua segera melaksanakan Referendum dan menuju kearah yang baru…..tanda tanda apa ini?….

II. Renegoisasi Freeport dan ketidakamanan yang bisa jadi bumerang atau separatisme?
Beberapa politisi semakin kuat menyuarakan bahwa jumlah APBN yang menjadi APBD dan ketika dibagi dengan jumlah penduduk Papua maka jumlahnya termasuk paling besar diindonesia….ini artinya Pemerintah pusat memperhatikan nasib dan perkembangan saudara kita disana, lalu kenapa pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di tanah Papua masih juga lambat bahkan dipersepsikan tidak adil atau hanya kekakayaannya di Gondol ke jakarta?…
Disisi lainnya apakah hanya freeport saja yang harus menjadi tulang punggung pensejahtera Tanah Papua atau juga LNG Tangguh dan juga berbagai perusahaan tambang serta perusahaan kelapa sawit dan usaha Hutan lainnya.
Yang pasti gejala yang terjadi terhadap freeport tidak lagi dapat dikatakan sebagai gangguan kecil karena bukan berarti macetnya Freeport berproduksi sama dengan mendekatnya posisi kemenangan Pemerintah Indonesia dalam  melakukan proses Renegoisasi kepada Freeport.?…kita juga harus memandang bahwa kejadian ini sebagai situasi dimana kedaulatan keamanan terhadap perusahaan tidak dapat dijamin Pemerintah Indonesia?….
Situasi ini juga harus dipandang bahwa proses negoisasi Freeport dengan para karyawannya sudah terlalu berlarut larut dan boleh jadi malahan semakin membuat ketidakpastian situasi sehingga kerawanan dan memprovokasi persoalan yang semakin meluas.
Dengan situasi ini juga bisa jadi persoalan Freeport dan Keresahan di Papua ini tidak lagi hanya persoalan yang berbasis kepada realitas sehari hari tetapi bukan tidak mungkin dibali ini sedang terjadi pertarungan politik dalam berbagai front…apakah dalam memperebutkan logistik 2014, kedaulatan Papua dan kepentingan nasional dalam rangka menata Pertambangan Indonesia agar mampu menjadi tulang punggung yang mensejahterakan bangsa Indonesia.
Pertanyaannya, apakah berhentinya produksi ini soal yang dibuat freeport atau memang soal dengan karyawan dan penduduk sekitar sudah tidak bisa ditengahi lalu kenapa aparat keamanan tidak mampu melaksanakan tugasnya dalam mengamankan Freeport tetap beroperasi?…
Apakah ini soal keamanan atau sudah mengarah kepada soal yang lebih dalam lagi soal pertahanan dan kedaulatan negara?
Apapun yang terjadi hanya berhentinya proses produksi PT Freeport bolah dikatakan sebagai sebuah kondisi yang mengindikasikan ketidakpastian keamanan bagi perusahaan yang beroperasi diindonesia apalagi sudah disebutkan diatas bahwa biaya pengamanan yang diberikan oleh Freeport bukan sedikit?…

III. Akan kemana persoalan ini?
  1. Pertanyaannya apakah kondisi ini akan termanfaatkan menjadi energy untuk mempercepat proses Renegoisasi sehingga ada komposisi baru yang menguntungkan Indonesia atau Cuma cerita gangguan keamanan saja?
  2. Apakah ini lebih mensemangati gerakan Separatisme atau pemanasan untuk mendapatkan kedaulatan yang mendekatkan kepada proses terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat dari pengelolaan pertambangan yang lebih berkeadilan bagi bangsa Indonesia.?
  3. Apakah persoalan ini testcase saja dalam rangka menunjukan kelemahan pemerintahan Indonesia dalam melakukan koordinasi dan melaksanakan pemerintahannya?.
Sungguh sangat tidak sederhana membaca apalagi memunculkan solusi dan mewujudkannya tetapi apapun yang sedang terjadi boleh dibilang bahwa semuanya membuat semakin besarnya gesekan yang terjadi pada berbagai medan dan level yang ada di Papua sana.
Akibat sebagaian besar saudara kita yang masih suka berperang dan bentrok serta masih suka melakukan bentrokan maka saat ini ketika terjadi konflik dan bentrokan menjadi tidak sederhana mempersepsikan bahwa kejadian itu sebagai bagian dari yang berbeda dengan kejadian hari hari dimana memang bentrok dan konflik sudah merupakan kejadian yang biasa walau pun tentunya sangat memperihatinkan termasuk bentrokan akibat perselisihan pada proses pilkada di puncak jaya yang menewaskan sampai belasan jiwa.

IV. Penutup.
Sekarang mau kemana semua ini?…apakah dengan dialog bersama presiden Yudhoyono semuanya akan selesai begitu saja?…jawabannya pasti tidak akan selesai.
Pertanyaannya apakah dialog itu perlu?…bisa jadi diperlukan. Tetapi yang lebih diperlukan adalah bagaimana semua pihak membahas hal hal yang strategi yang memang harus diputuskan dan dibuatkan proses menuju penyelesaian persoalannya?…
Sekali lagi disampaikan bahwa dana yang mengucur kesana setiap tahunnya tidak lah sedikit tetapi jika tidak digunakan sebagai mana mestinya akan semakin meningkatkan kebencian kepada pemerintah pusat dijakarta…apa sebabnya?…
Jika sebuah investigasi dilakukan secara menyeluruh maka sebaiknya mengungkap berapa persen dana yang dihabiskan secara bermanfaat kepada program yang membuat saudara saudara kita menjadi lebih makmur dan sejahtera apakah melalui pendidikan, melalui pembangunan infrstruktur, apakah melalui olahraga dan kesenian, apakah dengan melalui langkah pengembangan wirausaha dan perekonomian basis papua, apakah dengan meningkatkan kesehatan masyarakat, apakah dengan pembukaan lapangan pekerjaan, apakah dengan pembangunan industri rumahan dan olahan…dan lainnya?…
Berdasarkan informasi yang didapat diindikasikan bahwa 50% dana yang seharusnya kepada program dan masyarakat di papua dihabiskan dijakarta…oleh beberapa pihak yang sangat mudah dideteksi jika dilakukan investigasi yang sedikit mendalam?…
Berapa banyak pejabat dan bupati di papua dibandingkan dijakarta dan kota besar lainnya..bagaimana dengan anggarannya?…
Media ada baiknya semakin mengejar para pejabat ini dalam rangka membuat mereka lebih bertanggung jawab….?….supaya mereka semakin rajin menggerakan daerah dan programnya…supaya mereka semakin dekat dengan masyarakatnya dan bersama masyarakat melakukan pembangunan disana.
KPK, jangan Cuma nangkapin yang mudah dan tidak bernilai strategis tetapi juga silakan dapatkan kasus yang berkaitan dengan seperatisme akibat korupsi kepala daerahnya dan dengan terjadinya ini semoga terjadi perubahan wawasan dan pandangan….
Kita butuh langkah yang cepat dan tepat dalam mengatasi persoalan ini termasuk menggerakan anak anak muda yang siap melakukan tindakan nyata sehingga bukan hanya perdebatan opini yang akhirnya hanya berpolemik saja.
Dengan perkembangan situasi diatas maka banyak hal bisa jadi semakin menjadi tidak sederhana dan terbuka….sehingga waktu dan ketepatan solusi serta pengorganisasian solusi menjadi sangat mendesak dan strategis.

Semoga bermanfaat                                                                                     
Jakarta, 5 Desember 2011

Mohamad Chaidir Salamun
Media Observer & Analyst IndoSolution
www.indosolution.co.id

Kamis, 15 September 2011

Konflik Ambon, SARA Atau SEPARATISME ?

Kembali memanasnya ambon pada hari minggu lalu, mengingatkan saya terhadap konflik yang terjadi 12 tahun lalu yang berdampak panjang terhadap konflik – konflik selanjutnya. Konflik 12 tahun lalu merupakan kumulatif dari ketimpangan sosial antara Islam dengan Kristen di wilayah tersebut yang momentumnya dimanfaatkan secara politis bagi kepentingan pihak – pihak tertentu dengan menjadikan Ambon sebagai medan tempur yang bernuansa SARA.
                Jika dilihat catatan ke belakang, dampak konflik Ambon secara nasional sangatlah luas bahkan dapat dirasakan hingga saat ini. Kemunculan persoalan radikalisme – terorisme di Indonesia , tidak terlepas dari dampak terjadinya konflik Ambon. Sebut saja aksi bom di kedubes Filipina pada Agutus 2000 sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Philipina karena suplai senjata ke Ambon dan Poso, kemudian aksi bom malam natal tahun 2000 terhadap gereja – gereja di sejumlah kota di Indonesia, ketika itu, Hambali Cs yang belakangan diketahui sebagai dalang aksi tersebut, mensetting pengeboman gereja di malam natal sebagai bentuk balas dendam terhadap aksi kekerasan SARA terhadap umat Islam di Ambon yang pada perkembangannya, seiring dengan kejadian WTC September 2001, dimana organisasi dibalik dalang pengeboman malam natal tersebut, bertransformasi sasarannya menjadi terhadap ekspatriat dalam bentuk pengeboman di Bali. Catatan aksi Hambali Cs tersebut menggambarkan bahwa tujuan untuk memunculkan ketegangan komunal umat beragama antara Islam dengan Kristen di daerah seluruh Indonesia merupakan sebaran yang diharapkan terhadap konflik yang terkonsentrasi di Ambon ketika itu.
                Pada saat ini, apa yang harus di waspadai sebagai alarm intelijen bagi bangsa ini adalah mencuatnya konflik separatisme  seperti di Papua yang sangat berpotensi melakukan disintegrasi, apa korelasinya dengan Ambon yang muncul sebagai isu SARA ? katakanlah jika letupan konflik di hari minggu, 11 Sept 2011 lalu, merupakan test case yang dilakukan oleh pemain – pemain lama, sementara letupan konflik tersebut tidak berdampak signifikan maka pola baru sangat mungkin akan dimunculkan untuk mengganggu akar rumput yang memang mengalami traumatic terhadap dampak konflik Ambon. Saya lebih melihat, jika ternyata konflik tersebut jika sampai terjadi lagi dan ditunggangi kepentingan asing, maka pecahnya konsentrasi pemerintah dalam penyelesaiannya merupakan dampak yang diharapkan. Dalam arti memudahkan potensi Papua untuk lepas karena secara cultural baik masyarakat maupun potensi integrasi ke Indonesia, Papua cenderung lebih sulit untuk lepas dibanding Timor – Timur. Sehingga diperlukan pengalihan isu yang lebih besar walapun dalam kerangka yang masih sama yaitu HAM.
                Yang kedua sikap media harus hati – hati dalam mengkomunikasikan konflik Ambon yang bernuansa SARA dan juga menghindari upaya pihak – pihak tertentu untuk memuat pemberitaan yang berdampak negatif. Jangan sampai pers memuat pemberitaan atau foto – foto kenangan buruk konflik masa lalu yang dapat memicu traumatik warga korban konflik. Harus diingat bahwa 10 tahun yang lalu, belum ada Facebook atau Twitter, tetapi kita sudah melihat sendiri bagaimana kedashyatan microblogging di Indonesia dapat mengubah kebijakan publik untuk isu – isu besar, sehingga jika isu media dapat digulirkan melalui facebook atau twitter dan memancing sentimen kelompok fundamental untuk melakukan aksi – aksi balasan, jika hal itu terjadi maka momentum peringatan 11 September di seluruh dunia, dapat menjadikan aksi  dari pihak fundamental dibelokan sebagai bentuk radikalisme terorisme dengan memanfaatkan isu 11 September, stigma tersebut bisa sangat efektif untuk mengaburkan motif – motif kerusuhan yang ditimbulkan. 
Diperlukan juga satgas yang khusus untuk mengcounter kecepatan penyebaran isu negatif bernuansa SARA, karena pola ini disinyalir masih menjadi cara yang ampuh untuk merusuhkan Ambon. Apa yang dilakukan oleh komunitas masyarakat Ambon di Bali yang mengirimkan SMS ke Ambon sebagai bentuk penolakan terhadap kerusuhan minggu lalu, merupakan salah satu role model yang efektif bagi ketahanan masyakat lokal ( Ambon ), sehingga jika entitas masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia melakukan aksi tersebut secara sinergis, pola – pola provokasi dalam meluaskan isu – isu SARA dapat diredam. Saya kira pola – pola ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah untuk dikembangkan sebagai bentuk pencegahan taktis kerusuhan SARA yang disinergiskan dengan kinerja anggota BIN dilapangan.
Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Nasional (Susenas), ternyata Provinsi Maluku menduduki peringkat ketiga termiskin di Indonesia, setelah Provinsi Papua dan Papua Barat, kondisi ini belum bisa diperbaiki oleh pemerintah hingga saat ini, sehingga segregasi penduduk ke dalam kantong agama masih sering terjadi. Belum lagi recovery pembangunan infrastruktur pasca konflik yang terhambat oleh mentalitas birokrat kita yang korup, sehingga menjadikan wilayah ini memiliki bahaya laten terhadap isu – isu SARA. Tetapi saya kira pemerintah tidak bisa hanya memberikan perhatiannya dari sudut SARA saja, persoalan akar rumput di Ambon yang pasca Malino II belum selesai, sehingga pengelolaan akar rumput sangat penting dilakukan untuk membangun kekuatan dalam menghadapi provokasi SARA dan juga Separatisme.
Agenda separatisme sangat mungkin terselip di balik agenda kerusuhan minggu kemarin, karena secara geopolitik nasional isu – isu separatisme sangat memanas dalam 1 bulan terakhir ini, sehingga isu ini harus dikaji lebih komperhensif oleh pemerintah sebagai pemicu – pemicu gangguan keamanan di daerah rawan konflik. 

Jakarta 15 September 2011
Mohamad Chaidir Salamun
Aktivis Gerakan Pemuda Sehat /
Peneliti Radikalisme - Terorisme IndoSolution

Rabu, 13 April 2011

Opini Publik Bagi Perlindungan Sandera


Saat ini berbagai kalangan seperti DPR dan pihak – pihak terkait yang concern dengan persoalan hubungan internasional sedang gundah gulana melihat aksi pembajakan yang dilakukan oleh perompak Somalia dan sudah berlangsung hampir sebulan terhadap kapal berbendera Indonesia. Persoalan yang mencuat di media cetak nasional adalah kita dihadapkan antara negosiasi atau operasi militer dengan pertaruhan harga diri bangsa di mata internasional jika negosiasi dilakukan terhadap para pembajak. Desakan berbagai kalangan untuk segera mengirimkan pasukan komando ke lokasi pembajakan menguat dengan kecenderungan memanfaatkan sikap pemerintah yang dinilai lamban dalam mengambil opsi keputusan antara negosiasi atau operasi militer.
Yang saya perhatikan dari perkembangan situasi ini adalah ketika pembajakan terjadi dan tentara kita menerima kabar bahwa telah terjadi aksi terorisme, naluri saya mengatakan dalam waktu singkat Panglima TNI sudah memberikan perintah untuk memobilisasi pasukan elitnya untuk melakukan operasi pembebasan yang sudah pasti semuanya dilakukan dengan serba tertutup. Nah ! ketika proses konsolidasi tersebut dilakukan, seharusnya negosiasi internasional secara sistematis terus dilakukan sehingga pergerakan menyusupkan pasukan elit tidak terbaca oleh pihak perompak. Karena saya melihat dengan keberhasilan seperti Korea dan Malaysia dalam mengatasi penyanderaan melalui pasukan elitnya akan merubah strategi perompak dalam memetakan counter aksi terorisme dari pihak negara yang disandera. 
Dalam hal ini saya cenderung menghimbau agar blow up media tidak terlalu menyoroti terhadap kemungkinan opsi operasi militer karena tidak semua kebijakan yang terkait dengan operasi pertahanan, penegakan hukum dan penuntasan kejahatan trans-nasional dapat dijelaskan ke publik. Tekanan yang terus menerus untuk melakukan operasi militer akan memunculkan jawaban – jawaban yang ambigu dari petinggi militer dan elit pemerintah kita, sehingga dapat diinterpretasikan oleh para pembajak bahwa proses penyusupan sedang dilakukan di tempat kejadian pembajakan. Hal tersebut dapat terlihat terhadap kejelian perompak yang dengan memanfaatkan kepanikan keluarga yang disandera serta asumsi bahwa pemerintah Indonesia dan perusahaan pemilik kapal tidak menggubris tuntutan yang diajukan. Mereka menaikan nilai tuntutan uang walaupun diturunkan kembali. Sehingga bisa dibayangkan jika dalam 25 hari ini tidak ada perkembangan yang signifikan maka faktor jarak yang jauh serta minimnya dukungan infrastruktur di lokasi kemungkinan menjadi kendala yang harus dihadapi dengan sangat hati – hati oleh TNI jika pada nantinya akan melakukan operasi militer.
Suksesnya Malaysia dan Korsel dalam melakukan operasi pembebasan sandera menurut saya karena infrastruktur pendukung operasional negara tersebut sudah tersedia di lokasi kejadian sehingga memudahkan mobilisasi serta pemetaan terhadap kapal yang dibajak. Dan mungkin ini yang tidak dimiliki oleh kita karena ada ketidaksiapan dalam mengawal kapal – kapal kita yang melewati laut Somalia. Saya sangat mempercayai integritas dan kemampuan satuan tentara elit kita dalam penuntasan pembebasan sandera, karena kasus ini sangat berbeda dengan kasus pembajakan yang terjadi di Bangkok pada tahun 1981, dimana ketika itu para teroris yang melakukan aksi pembajakan merupakan orang – orang yang sangat ideologis dan merupakan aksi radikalisme yang notabene memiliki kemampuan lebih militan dibanding para perompak Somalia yang cenderung money oriented.
Kondisi perang saudara diwilayah tersebut yang berdampak terhadap tidak adanya pekerjaan menyebabkan profesi sebagai bajak laut dianggap sebagai jalan pintas yang paling mudah dan paling menjanjikan serta dapat merubah sisi suram perekonomian Somalia. Sehingga karena kebutuhan dan kondisi tanpa pekerjaan tersebut, mereka ( para perompak Somalia ) memiliki pengalaman panjang dalam melakukan aksinya di laut Somalia disamping berbagai kegagalan mereka dalam menuntut uang tebusan dari negara – negara yang warganya disandera menjadi pelajaran trial & error aksi mereka. Sekedar catatan saja, sejak 2008 hingga 2010, posisi Al Qaeda kembali menguat sebagai organisasi radikalisme dunia salah satunya berkat dukungan logistik perompak – perompak Somalia yang berhasil meminta tebusan dari negara asal sandera.
Memang kegeraman selama 25 hari sejak pembajakan berlangsung pasti sangat dirasakan karena belum ada perkembangan positif yang signifikan, tetapi baik keluarga korban dan pihak - pihak yang terkait dalam permasalahan hubungan internasional, saya kira harus bersabar, karena yang dihadapi saat ini merupakan bukan aksi terorisme nasional atau seperti aksi pembajakan di Thailand dulu, tetapi berkaitan dengan aksi terorisme di wilayah yang menjadi dukungan logistik bagi organisasi teroris dunia ( Al Qaeda ). Di satu sisi opini publik di media cetak nasional harus menjadi tempat perlindungan tersendiri bagi para sandera sehingga membantu pemerintah untuk membebaskan para sandera dengan segera.

                                                                                                Jakarta, 12 April 2011
Mohamad Chaidir Salamun
                                                                                                Peneliti Radikalisme – Terorisme IndoSolution