Kamis, 15 September 2011

Konflik Ambon, SARA Atau SEPARATISME ?

Kembali memanasnya ambon pada hari minggu lalu, mengingatkan saya terhadap konflik yang terjadi 12 tahun lalu yang berdampak panjang terhadap konflik – konflik selanjutnya. Konflik 12 tahun lalu merupakan kumulatif dari ketimpangan sosial antara Islam dengan Kristen di wilayah tersebut yang momentumnya dimanfaatkan secara politis bagi kepentingan pihak – pihak tertentu dengan menjadikan Ambon sebagai medan tempur yang bernuansa SARA.
                Jika dilihat catatan ke belakang, dampak konflik Ambon secara nasional sangatlah luas bahkan dapat dirasakan hingga saat ini. Kemunculan persoalan radikalisme – terorisme di Indonesia , tidak terlepas dari dampak terjadinya konflik Ambon. Sebut saja aksi bom di kedubes Filipina pada Agutus 2000 sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Philipina karena suplai senjata ke Ambon dan Poso, kemudian aksi bom malam natal tahun 2000 terhadap gereja – gereja di sejumlah kota di Indonesia, ketika itu, Hambali Cs yang belakangan diketahui sebagai dalang aksi tersebut, mensetting pengeboman gereja di malam natal sebagai bentuk balas dendam terhadap aksi kekerasan SARA terhadap umat Islam di Ambon yang pada perkembangannya, seiring dengan kejadian WTC September 2001, dimana organisasi dibalik dalang pengeboman malam natal tersebut, bertransformasi sasarannya menjadi terhadap ekspatriat dalam bentuk pengeboman di Bali. Catatan aksi Hambali Cs tersebut menggambarkan bahwa tujuan untuk memunculkan ketegangan komunal umat beragama antara Islam dengan Kristen di daerah seluruh Indonesia merupakan sebaran yang diharapkan terhadap konflik yang terkonsentrasi di Ambon ketika itu.
                Pada saat ini, apa yang harus di waspadai sebagai alarm intelijen bagi bangsa ini adalah mencuatnya konflik separatisme  seperti di Papua yang sangat berpotensi melakukan disintegrasi, apa korelasinya dengan Ambon yang muncul sebagai isu SARA ? katakanlah jika letupan konflik di hari minggu, 11 Sept 2011 lalu, merupakan test case yang dilakukan oleh pemain – pemain lama, sementara letupan konflik tersebut tidak berdampak signifikan maka pola baru sangat mungkin akan dimunculkan untuk mengganggu akar rumput yang memang mengalami traumatic terhadap dampak konflik Ambon. Saya lebih melihat, jika ternyata konflik tersebut jika sampai terjadi lagi dan ditunggangi kepentingan asing, maka pecahnya konsentrasi pemerintah dalam penyelesaiannya merupakan dampak yang diharapkan. Dalam arti memudahkan potensi Papua untuk lepas karena secara cultural baik masyarakat maupun potensi integrasi ke Indonesia, Papua cenderung lebih sulit untuk lepas dibanding Timor – Timur. Sehingga diperlukan pengalihan isu yang lebih besar walapun dalam kerangka yang masih sama yaitu HAM.
                Yang kedua sikap media harus hati – hati dalam mengkomunikasikan konflik Ambon yang bernuansa SARA dan juga menghindari upaya pihak – pihak tertentu untuk memuat pemberitaan yang berdampak negatif. Jangan sampai pers memuat pemberitaan atau foto – foto kenangan buruk konflik masa lalu yang dapat memicu traumatik warga korban konflik. Harus diingat bahwa 10 tahun yang lalu, belum ada Facebook atau Twitter, tetapi kita sudah melihat sendiri bagaimana kedashyatan microblogging di Indonesia dapat mengubah kebijakan publik untuk isu – isu besar, sehingga jika isu media dapat digulirkan melalui facebook atau twitter dan memancing sentimen kelompok fundamental untuk melakukan aksi – aksi balasan, jika hal itu terjadi maka momentum peringatan 11 September di seluruh dunia, dapat menjadikan aksi  dari pihak fundamental dibelokan sebagai bentuk radikalisme terorisme dengan memanfaatkan isu 11 September, stigma tersebut bisa sangat efektif untuk mengaburkan motif – motif kerusuhan yang ditimbulkan. 
Diperlukan juga satgas yang khusus untuk mengcounter kecepatan penyebaran isu negatif bernuansa SARA, karena pola ini disinyalir masih menjadi cara yang ampuh untuk merusuhkan Ambon. Apa yang dilakukan oleh komunitas masyarakat Ambon di Bali yang mengirimkan SMS ke Ambon sebagai bentuk penolakan terhadap kerusuhan minggu lalu, merupakan salah satu role model yang efektif bagi ketahanan masyakat lokal ( Ambon ), sehingga jika entitas masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia melakukan aksi tersebut secara sinergis, pola – pola provokasi dalam meluaskan isu – isu SARA dapat diredam. Saya kira pola – pola ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah untuk dikembangkan sebagai bentuk pencegahan taktis kerusuhan SARA yang disinergiskan dengan kinerja anggota BIN dilapangan.
Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Nasional (Susenas), ternyata Provinsi Maluku menduduki peringkat ketiga termiskin di Indonesia, setelah Provinsi Papua dan Papua Barat, kondisi ini belum bisa diperbaiki oleh pemerintah hingga saat ini, sehingga segregasi penduduk ke dalam kantong agama masih sering terjadi. Belum lagi recovery pembangunan infrastruktur pasca konflik yang terhambat oleh mentalitas birokrat kita yang korup, sehingga menjadikan wilayah ini memiliki bahaya laten terhadap isu – isu SARA. Tetapi saya kira pemerintah tidak bisa hanya memberikan perhatiannya dari sudut SARA saja, persoalan akar rumput di Ambon yang pasca Malino II belum selesai, sehingga pengelolaan akar rumput sangat penting dilakukan untuk membangun kekuatan dalam menghadapi provokasi SARA dan juga Separatisme.
Agenda separatisme sangat mungkin terselip di balik agenda kerusuhan minggu kemarin, karena secara geopolitik nasional isu – isu separatisme sangat memanas dalam 1 bulan terakhir ini, sehingga isu ini harus dikaji lebih komperhensif oleh pemerintah sebagai pemicu – pemicu gangguan keamanan di daerah rawan konflik. 

Jakarta 15 September 2011
Mohamad Chaidir Salamun
Aktivis Gerakan Pemuda Sehat /
Peneliti Radikalisme - Terorisme IndoSolution