Senin, 24 September 2012
Rabu, 19 September 2012
Negeri Besar Minus Komitmen
ANALISIS POLITIK YUDI LATIF
Kembali ke Tanah Air setelah kami mengikuti konferensi East-West
Center di Beijing (1-3 September) ibarat keluar dari kolam hangat menuju
danau beku. Konferensi bertajuk ”Community Building and Leadership in
Asia Pacific” ini mengantisipasi pergeseran poros kemajuan peradaban
dari trans-Atlantik menuju trans-Pasifik. Suatu pergeseran yang tandanya
mulai berdenyut dalam gairah hidup dan kepercayaan diri bangsa China.
Kemajuan
China adalah suatu penjungkirbalikan atas nalar kegaliban. Besarnya
jumlah penduduk kerap dijadikan alasan kesulitan dan kelambanan
kemajuan. Namun, dengan 1,3 miliar penduduk, China bisa meraih kemajuan
dalam kecepatan mengagumkan. Inggris perlu waktu 100 tahun sejak
revolusi industri untuk melipatgandakan kemakmurannya; Amerika Serikat
perlu 50 tahun. China mencapainya belasan tahun.
Rahasia di balik
kesuksesan ini adalah komitmen elite pada integrasi nasional sehingga
membuat negeri yang dirundung pertikaian panjang dapat mencapai
persatuan dan perdamaian. Mao Zedong dengan segala kekurangannya
dihormati sebagai Bapak Pemersatu Bangsa seperti ditahbiskan di dinding
kota dan beragam cendera mata.
Komitmen elite memberdayakan rakyat
dengan menjaga kesinambungan antara tradisi dan inovasi. Tradisi kerja
keras, disiplin, dan kerja sama kolektif warisan konfusianisme dan
revolusi kebudayaan diberi darah baru oleh desain institusional yang
memberi ruang bagi kreativitas individu. Hal ini bermula dari kebijakan
reformer Deng Xiaoping untuk mengurangi intensitas politisasi rakyat
warisan kebijakan Great Leap Forward-nya Mao. Sejak 1978, kadar
politisasi ekonomi dikurangi lewat rasionalisasi dan dekolektivisasi.
Komitmen
elite memulihkan martabat bangsa yang memijarkan rasa bangga bagi
penduduk menjadi warga China. Setiap warga berlomba memilih peran
terbaik yang bisa disumbangkan bagi keagungan bangsa. Bersamaan dengan
kemajuan ekonomi, muncul semacam kredo bahwa ”Washington Consensus”
adalah trayek masa lalu. Trayek masa depan adalah ”Beijing Consensus”.
Ketika elite Indonesia berebut bertemu Hillary Clinton, Wakil Presiden
China membatalkan pertemuannya dengan Nyonya Clinton.
Komitmen
elite mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberantas korupsi. Sistem
sosial memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang berilmu,
pemerintahan mengikuti sistem meritokrasi dengan diisi putra-putri
terbaik. Kesadaran bahwa Barat bukan satu-satunya sumber ilmu mendorong
kesetaraan pengakuan terhadap ilmu-ilmu warisan tradisi leluhur. Korupsi
bukannya tidak ada, tetapi tidak dibiarkan jadi kewajaran dengan sanksi
keras.
Komitmen elite menjadikan media sebagai wahana pemacauan
optimisme dan kepercayaan diri. Para peraih medali emas di Olimpiade
London satu per satu di-interview
televisi dalam penobatan mereka sebagai pahlawan. Saluran berbahasa
Inggris, CCTV News, terus-menerus menayangkan slogan ”The Country is
undergoing tremendous transformation”. Dampak penayangan repetitif
slogan ini mengonstruksikan persepsi positif dan kepercayaan penonton
akan kehebatan kemajuan China.
Kembali ke Tanah Air, gairah
kemajuan bangsa terasa dingin. Selama 14 tahun reformasi, Indonesia
kehilangan begitu banyak momentum. Awal 1990-an, ketika China masih
merangkak di landasan, Indonesia telah memasuki fase lepas landas.
Kemajuan yang kita capai waktu itu menjadikan negara ini sebagai salah
satu ”Asian Tigers”.
Integrasi nasional terganggu karena elite
politik berlomba mengkhianati negara. Semua tindakan politik diabsahkan
menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan
pelayanan publik. Institusi demokrasi membiarkan politik berbiaya
tinggi, yang merobohkan kewibawaan politik. Politik didikte kapital,
pemerintahan disesaki medioker, korupsi merajalela mendorong
perekonomian berbiaya tinggi.
Peluang-peluang yang dimungkinkan
demokrasi tak membuat rakyat berdaya, tetapi justru kian teperdaya.
Pertumbuhan ekonomi hanya memperkaya elite negeri dengan memarjinalkan
rakyat kebanyakan. Elite negeri lebih bangga mendapat ”isapan jempol”
penghargaan asing ketimbang penghargaan dari rakyatnya sendiri.
Ketertiban
dan keselamatan warga kerap dikorbankan oleh motif pengalihan isu.
Kekerasan difabrikasi sebagai mekanisme defensif kegagalan pemerintah.
Tekad
belajar elite negeri berhenti sebagai pepesan kosong ”studi banding”
sebagai modus penjarahan uang negara. Dunia pendidikan sibuk
memancangkan slogan ”taraf internasional” meski sebenarnya hanyalah
”tarif internasional”. Jumlah profesor tumbuh dengan jejak karya yang
makin sulit dikenali. Akademisi dan cendekiawan bukan berkontribusi
memikirkan desain institusional memperbaiki mutu kepemimpinan, malahan
turut merayakan banalitas politik sebagai kaki tangan modal melalui
semacam tim audisi pemimpin idola dalam tarian pragmatisme jangka
pendek. Media sibuk menayangkan kebebalan politik tanpa agenda setting yang bersifat konstruktif.
Elite
Indonesia terlalu gemar gebyar lahir dan terlalu gaduh untuk perkara
remeh-temeh tanpa komitmen pada isi hidup dan arah hidup. Ketika kawasan
Pasifik menjadi pusat kemajuan baru dan Asian Free Trade di ambang
pintu, Negeri Besar dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini
justru terus terhinakan kewibawaannya oleh kesempitan dan kekecilan
mentalitas elite pemimpinnya. Dicuplik dari Kompas, Selasa, 18 September 2012. Hal : 15
Catatan :
Analisis yang digambarkan oleh Bang Yudi Latif adalah bentuk potret Indonesia yang menunjukan keengganannya untuk keluar dari kubangan lumpur keterpurukan. Seolah - olah dalam opini ini, elit lah yang menjadi biang keladi persoalan saat ini. Kemudian membandingkan dengan China yang hanya membutuhkan waktu belasan tahun atau dengan percepatan yang luar biasa serta Inggris yang membutuhkan 100 tahun dan Amerika yang membutuhkan 50 tahun dalam mencapai tingkat kemajuannya. Apa yang terjadi dengan Indonesia yang begitu sulitnya untuk seperti ketiga negara tersebut. Membandingkan Indonesia dengan ketiga negara tersebut tidaklah menjadi suatu perbandingan yang simetris, karena etos kerja yang dimiliki oleh ketiga negara tersebut merupakan warisan yang secara langsung turun temurun mewarnai sejarah peradaban bangsanya. Inggris yang kemudian berkembang menjadi Amerika mendapatkan nilai - nilai tersebut dari transformasi perubahan struktur sosial dan impor dari Arab sebagai pusat kebudayaan dan itu terjadi ketika di zaman pertengahan. Demikian juga dengan China, yang memiliki genetik sebagai ras kuning tentunya etos terhadap life skill nya sangat terjaga karena memiliki garis langsung ketika terjadi migrasi penduduk dari pusat peradaban di Irak th 2000 SM.
Bagaimana dengan Indonesia ? Negeri ini dalam keadaan tidak memahami jati dirinya ketika belahan dunia lain sedang melakukan transformasi peradabannya di abad 1 M. Hal tersebut menjadikan negeri ini menjadi sampah budaya yang berdampak pada tidak memahaminya nilai - nilai produktifitas sebagai sebuah individu sehingga tidak memiliki lifeskill, adapun budaya yang masuk ketika itu adalah sebagai upaya yang radikal untuk menggerakan potensi sumber daya manusia agar dapat melakukan ekspor sumber daya alam ke tempat kebudayaan tersebut berasal. dan hal itu berlanjut selama ribuan tahun, sehingga sangat logis jika perbandingan kita tidak asimetris dengan bangsa - bangsa yang disebutkan diatas. Yang membedakan bangsa ini dengan yang lainnya adalah identitas yang selalu terjaga dalam bentuk bangsa yang nerimo karena dibalik masuknya sampah - sampah budaya tersebut, masuk pula kebudayaan / ajaran yang merupakan titipan " sang pencipta " sebagai bentuk anugrah untuk menjadikan bangsa ini besar di di kemudian hari kelak....
Sehingga jika kita menyalahkan elit sebagai salah satu biang keladi kesulitan ini, saya kira lebih baik kita memulai perbaikan dari diri sendiri dalam bentuk perbaikan an-niyat, berkembang menjadi sebuah bentuk kesadaran yang obyektif untuk dapat membentuk rumah tangga yang nantinya mengarah kepada etos bangsa yang dapat bersaing serta membentuk karakter tersendiri sebagai bangsa Indonesia.
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution
Selasa, 18 September 2012
MA: Prita Tidak Cemarkan Omni
Jaksa Harus Merehabilitasi Nama Prita Mulyasari
Jakarta, Kompas - Mahkamah
Agung menyatakan Prita Mulyasari tidak terbukti melakukan tindak pidana
mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Oleh karena itu,
nama baik, harkat, dan kedudukan Prita harus dipulihkan.
Hal itu
terungkap dalam putusan peninjauan kembali (PK) MA yang dijatuhkan Senin
(17/9). Perkara diputus majelis PK yang diketuai Ketua Muda Pidana
Khusus MA Djoko Sarwoko dengan hakim anggota Agung Surya Jaya dan
Suhadi.
Dalam putusan perkara No 22 PK/Pid.sus/2011 itu, majelis
PK membebaskan Prita dari seluruh dakwaan atau bebas murni. ”Memulihkan
hak terpidana dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabat”, demikian
petikan amar putusan PK.
Perintah MA agar hak terpidana dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat martabat dipulihkan, kata Djoko, yang
dimaksudkan adalah rehabilitasi untuk Prita. Apabila rehabilitasi tidak
dilaksanakan oleh jaksa, Prita dapat mengajukan permohonan rehabilitasi
sekaligus permohonan ganti rugi dengan mendasarkan pada Buku Satu Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bisa tenang
Dihubungi
secara terpisah, Prita mengatakan telah mengetahui putusan MA tersebut
dari pengacaranya, Slamet Yuwono dari Kantor Pengacara OC Kaligis. Ia
mengatakan kini bisa tenang dalam menjalani kehidupan dan pekerjaan.
”Subhanallah.
Alhamdulillah. Semoga ini keputusan yang terakhir dan tak ada lagi yang
mengutak-atik hidup saya dan keluarga,” kata Prita.
Dengan
putusan tersebut, majelis PK membatalkan putusan kasasi MA dalam perkara
pidana pencemaran nama baik pada 30 Juni 2011. Prita diadukan Rumah
Sakit Omni Internasional karena mengeluhkan pelayanan buruk rumah sakit
tersebut dalam sebuah e-mail.
Majelis kasasi yang diketuai Imam
Harjadi dengan hakim anggota Salman Luthan dan Zaharuddin Utama ketika
itu menyatakan Prita terbukti bersalah sehingga menjatuhkan hukuman enam
bulan penjara dengan masa percobaan setahun.
Kepala Biro Hukum
dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan, majelis PK menerima novum atau
bukti baru yang diajukan Prita, yaitu putusan kasasi dalam perkara
gugatan perdata pencemaran nama baik. MA menolak gugatan tersebut dengan
alasan, apa yang dilakukan Prita melalui e-mail tersebut bukan
pencemaran nama baik.
Hingga berita ini diturunkan, Kompas belum berhasil mendapatkan tanggapan Rumah Sakit Omni Internasional. (ana/pin). Dikutip dari Kompas, 18 september 2012, Hal : 15
Catatan Chaidir Salamun :
Kasus yang bergulir sejak tahun 2009 ini menjadi fenomena tersendiri bagi dunia ke PR-an sebuah korporasi seperti Rumah Sakit Omni International, bagaimana kepercayaan diri yang dimiliki oleh institusi tersebut cenderung berlebihan dengan asumsi bahwa apa yang menjadi keluhan Prita dianggap sebagai kerikil dalam konteks reputasi insititusi tersebut. Disinyalir kekuatan yang dimiliki Rs Omni di wilayah operasional RS pada saat itu mengganggap dirinya dapat menjerat Prita dengan jalur serta kekuatan jaringan hukum yang dimilikinya ketika itu.
Disinilah mungkin yang menjadi akar persoalan dan menjadi pembelajaran bagi proses komunikasi publik ketika berhadapan dengan jalur hukum, bagaimana seorang Prita yang cenderung dianggap kecil untuk dapat menjelaskan kegalauannya ternyata menjadi terbalik dan menjadi shock therapy yang fatal bagi RS Omni karena dibalik tuntutan hukumnya terhadap Prita, harus berhadapan dengan tuntutan opini publik yang menjadi mainstream luar biasa dan menjadi hantaman balik terhadap reputasi RS Omni ketika itu, sehingga diperlukan kecermatan serta kehati - hatian dalam melakukan permainan opini di media massa agar turbulensinya tidak berbalik bahkan cenderung menjatuhkan reputasi sendiri.
Senin, 17 September 2012
Antara Pencitraan dan Pendidikan Politik
Melalui survei yang dilakukan konsultan politik, parpol atau politisi bisa mengetahui perilaku pemilih, membuat pertimbangan untuk menentukan calon, membuat program kampanye, dan mengetahui hasil pemilihan lewat penghitungan cepat. Selain itu, konsultan politik bisa memoles calon atau parpol melalui kampanye pencitraan di media massa.
Meski terbilang modern, kampanye dengan pencitraan melalui iklan politik itu mempunyai kecenderungan manipulatif. Pengamat politik J Kristiadi dari CSIS mengingatkan, iklan politik mirip dengan reklame produk komersial. Iklan politik dapat mengubah seorang politisi medioker menjadi pemimpin karismatik. Yang terjadi adalah ironi politik. Mereka yang bekerja keras, mempunyai kompetensi dan kapabilitas, terpaksa kalah dari mereka yang populer (Kompas, 25/11/2008). Selain itu, rakyat sebagai pemilik suara kurang bisa mendapatkan informasi yang komprehensif dan benar tentang sosok atau parpol yang ditawarkan.
Di masa Orde Baru, hubungan parpol dan konstituen selalu berjarak. Golkar mendominasi hampir setiap aktivitas kampanye pemilu. Kampanye Golkar selalu dipadati massa dan simpatisan. Namun, hal itu terjadi karena mobilisasi massa dilakukan. Alhasil, rakyat menjadi biasa memilih Golkar sebagai kewajiban di era Orba, dan bukan karena mendapatkan pendidikan politik yang baik.
Paling demokratis
Kondisi itu jauh berbeda dengan kampanye Pemilu 1955 yang dikenal sebagai pemilu pertama dan disebut-sebut sebagai salah satu pemilu yang paling demokratis. Melalui kampanye tradisional seperti pengalangan massa, pertemuan-pertemuan, rapat umum, dan orasi tokohnya, parpol peserta Pemilu 1955 gigih menggalang dukungan pemilih hingga ke desa-desa.
Selain memperkenalkan tanda gambar yang akan dicoblos, mereka juga melakukan kegiatan sosial untuk membangun basis massa yang lebih permanen dan bersifat jangka panjang. Tak heran bila jarak antara pengurus parpol dan konstituen terbilang dekat. Pemilih memiliki ikatan efektif dengan partai yang didukungnya. Bahkan, terjalin ikatan yang kuat antara parpol dan anggotanya dengan menerapkan kartu anggota.
Disebutkan bahwa partai-partai besar seperti PNI, NU, Masyumi, dan PKI giat memperagakan lambang partainya dan menerapkan kartu anggota. Menjelang pemilu, jumlah anggota PNI tercatat 5,2 juta orang dan PKI sekitar 1 juta orang. Kampanye yang dilakukan parpol pada saat itu menciptakan semangat kolektivitas di tingkat desa. Parpol mampu menjalankan fungsi-fungsi sosial yang penting di desa seperti gotong royong dan kegiatan sosial.
Saat ini, sistem politik telah berubah total pasca-Reformasi. Format keterbukaan dan dialog langsung kembali diinginkan publik sebagaimana yang dulu pernah berlangsung.
(ERI/LITBANG KOMPAS).
Dicuplik dari : Kompas, 17 September 2012.
Minggu, 16 September 2012
Kamis, 13 September 2012
Jangan sampai Terjebak di dalam Pusaran Konflik
Naiknya kembali
isu terorisme di Solo baru – baru ini memunculkan spekulasi apakah isu tersebut
memang sengaja dimunculkan sebagai bentuk pengalihan isu atau memang sebetulnya
berkenaan dengan momentum yang berdasarkan laporan intelijen bahwa ada target
operasi teror yang harus dieliminasi. Kenapa ? karena dalam hal kemunculan isu
terorisme, saat ini sepertinya sudah menjadi pola yang baku terhadap
kemungkinan subtitusi isu untuk menahan stabiltas politik terhadap kemungkinan
dampak munculnya isu strategis yang mendelegitimasi pemerintah. Jika dilihat
secara kronologis dan komparasinya dengan isu – isu stragegis lainnya misalnya
terhadap peninjauan kembali kontrak karya freeport yang diindikasikan terkait
dengan kedatangan Hillary Clinton, kasus korupsi simulator SIM dan adanya
ketidaksiapan dalam penyelenggaraan PON jika seandainya dibelokan menjadi isu
korupsi. Hal tersebut tentunya bisa berimplikasi terhadap lunturnya kepercayaan
masyarakat yang untuk kalangan tertentu menaruh perhatian dalam persoalan ini. Proses
de-redekalisasi merupakan bukan hal yang mudah dilakukan tetapi jika dalam
prosesnya dilakukan untuk perlombaan kenaikan jabatan misalnya ! atau mencari
popularitas dalam rangka menaikan pagu untuk pemberantasan terorisme. Atau juga
dengan memanfaatkan teori bahwa radikalisme tidak pernah habis maka
dihembuskanlah isu untuk melakukan sertifikasi terhadap ulama – ulama sebagai
bentuk jalan tengah untuk menguatkan nilai – nilai liberalis dengan
membenturkan Islam sebagai pengikut agama terbanyak di negeri ini, yang
dikuatkan dengan infiltrasi intelijen dengan mengarahkan target terorisme
terhadap gereja atau tempat ibadat umat lain.
Pola komunikasi
konflik sepertinya sengaja dibangun jika Solo dan sekitarnya menjadi memanas
karena aksi radikalisme. Sehingga wajar jika adanya opini muncul bahwa kondisi
tersebut terkait dengan pencalonan Jokowi yang jika terjadi pergeseran
kekuasaan di kota Solo maka hal inilah yang tidak diinginkan oleh kaum
radikalis di daerah tersebut. Disisi lain kontak senjata yang dilakukan oleh
anak usia 19 tahun dengan Densus 88 harus dilihat secara komperhensif terhadap
perkembangan sel – sel radikalisme. Jika asumsi bahwa sel – sel tersebut akan
terus berkembang biak maka kuantitas anak dengan model seperti itu mungkin akan
cukup signifikan jumlahnya karena dengan usia yang masih sangat muda telah mempunyai
ketenangan psikologis yang luar biasa untuk mampu berhadapan dengan sekelompok
pasukan elit. Jika katakanlah hal tersebut dapat terpantau perkembangannya oleh
intelijen maka akan disayangkan jika ternyata preventivenya dikaitkan dengan
perkembangan politik yang merugikan pemerintah. Bagaimanapun juga dengan
melihat kondisi psikologis si anak tersebut, maka tali ideologis tetap terjalin
dengan para seniornya yang telah lebih dulu terbunuh sehingga seolah – olah,
rajutan tersebut menjadi ruh atau tenaga pembangkit dalam meneruskan cita –
cita memerangi nilai – nilai yang dianggap bertentangan dengan bentuk berpikir
mereka. Oleh karena itu wacana tersebut harus terus dikuatkan agar dalam
penanganan de-redekalisasi menjadi sebuah upaya yang sungguh – sungguh dengan tidak
memanfaatkan eksistensi kaum radikalis yang notabene saat ini sedang
memperlihatkan eksistensi mereka bahwa mereka masih ada.
Jakarta,
13 September 2012
Mohamad
Chaidir Salamun
Media
Anaslyst IndoSolution
www.indosolution.co.id
www.indosolution.co.id
Langganan:
Postingan (Atom)