Senin, 25 Februari 2013

Jangan Berisik !!! Partai ini Milik Keluarga Kami !!!



Naiknya status Anas menjadi tersangka efektif mulai Jumat 22 Feb 2013, terus menaikan suhu prahara di internal Partai Demokrat. Pertarungan opini yang terus berlanjut antara mempertahankan pencitraan vs menuntut keadilan memunculkan korban dengan kalahnya Dede Yusuf dan Lex Laksamana di quick count pilgub Jabar. Jika dilihat secara alur waktu sampai dengan Anas menjadi tersangka, publik sudah sangat memahami bahwa ada show off force bahwa partai tersebut adalah milik SBY dan keluarganya, sekaligus menunjukan dinamika hegemoni politik ketentaraan dengan tidak mengkedepankan adanya perbedaan sebagai fundamental demokrasi. Dalam kondisi tersebut, statement Anas dalam tanggapannya sebagai tersangka kasus korupsi sudah sangat jelas memperlihatkan bahwa sang ketua umum selama ini sebetulnya terhimpit dengan banyaknya kader – kader PD yang oportunis yang memanfaatkan posisi politis mereka di DPR atau di partai untuk melakukan hal – hal seperti yang dilakukan oleh Nazarudin, hanya saja ke opportunisan mereka selama ini tertutupi oleh mindset pencitraan SBY yang betul – betul menunjukan kepemilikan Partai tersebut oleh SBY dan keluarganya. Sehingga dengan mudah bagi kader – kader tersebut untuk bersembunyi dengan menunjukan seolah – olah merekalah yang paling setia terhadap SBY dan keluarganya.
Statement Anas secara santun mengenai tahapan opini akan dijadikannya yang bersangkutan sebagai tersangka, seolah ingin menunjukan bahwa badan anti korupsi ( KPK ) yang selama ini dianggap independen sebetulnya dikendalikan oleh SBY. Tentunya ini juga mengingatkan kita terhadap kasus Antasari di 2009, apakah sebetulnya pimpinan KPK ketika itu tersungkur karena operasi clandestein tim intelijen SBY yang dilakukan untuk pemenangan 2009 agar DPT fiktif yang berjumlah 60 juta tidak menjadi polemik publik yang dapat berperpengaruh terhadap kemenangan mutlak mereka atau memang karena kasus affair cinta segitiga yang melibatkan salah seorang Direktur yang terbunuh ketika itu. Sehingga saya kira tidak ada salahnya jika masyarakat turut menelaah kondisi perkembangan tersebut agar proses penegakan hukum di negeri ini bukan bertujuan untuk menjaga citra penguasa dengan cara membui orang – orang terdekat penguasa di negeri ini. Tetapi dengan cara membangun kesadaran masyarakat bahwa selama ini ternyata yang dilakukan adalah dengan mempertahankan hegemoni cara berpolitik tentara sehingga tidak akan menghasilkan kesejahteraan secara fundamental seperti yang selama ini menjadi jargon pemerintahan SBY.
Dalam proses kasus hukum Anas, saya kira, publik juga harus turut mengawal, tentunya dengan mendapatkan pemberitaan yang berimbang, berlarut – larutnya kasus ini, memang agar terdesign bahwa citra Anas sebagai koruptor agar mengkristal di mata publik sehingga disaat keluarnya status tersangka, resistensi opini publik hampir – hampir menjadi nihil karena sangat mendukung Anas menjadi tersangka, mengingat kharisma dan pengaruh Anas melui jaringan HMI nya. Logika politik tersebut dapat ditelaah dari persepsi statement Anas yang mengatakan bahwa dirinya adalah ibarat bayi yang tidak diharapkan dan jika lembaran demi lembaran tersebut terus dituliskan maka akan semakin mempertajam blunder terhadap pencitraan yang dilakukan oleh SBY karena Anas memiliki data yang kuat terhadap keterlibatan kader oportunis lain yang bersembunyi di balik pencitraan SBY.
Sehingga sangat mungkin dalam proses hukumnya nanti, Ibas akan terseret delik hukum karena kedekatan dan statusnya sebagai Sekjen PD jika dalam buka – bukaannya Anas meniru seperti yang telah dilakukan oleh Nazarudin, oleh karena itu, berkaca dari kasus Nazarudin yang diawal kasus menyebut nama Ibas sebagai salah satu bagian dari operasinya ( baca : Nazarudin ) maka, opini yang ditiupkan adalah dengan menjadikan Nazarudin sebagai musuh negara dengan cara melibatkan Badan Intelijen Negara dimana seolah – olah sedang mencari Nazarudin yang kabur ke luar negeri.
Naiknya isu separatisme di Papua mungkin saja dapat dikatakan sebagai teriakan dari para patriot kita disana, agar anggaran untuk menyelesaikan Papua diperbesar dan juga karena permainan mafia senjata yang menyulitkan tentara kita untuk melakukan operasi militer secara tertutup. Tetapi kira – kira ? apakah semua ini juga sebagai dampak prahara kepemilikan di Partai Demokrat atau terlalu menjaga citranya sebagai penguasa negeri ini ? Silahkan masyakat untuk menilai hal tersebut dan dikaitkan dengan proses perjalanan status hukum Anas tentunya diharapkan dengan penguasaan pemahaman terhadap kemunculan pemberitaan atau opini yang berkembang agar terhindar dari deception opinion untuk kepentingan pencitraan kembali, sehingga diharapkan masyarakat mampu menilai posisi pemimpinnya saat ini dalam meletakan keadilannya.

                                                          Mohamad Chaidir Salamun
                                                          Jakarta, 25 Februari 2013
                                                          Media Intelligence Consulant IndoSolution

Sabtu, 23 Februari 2013

Pemerintah Perlu Berhati – Hati terhadap Operasi Intelijen yang Merubah Kebijakan



Posisi Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang saat ini di sudah seperti di ujung tanduk terlihat menarik untuk ditelaah mengapa sampai detik ini, sang Ketum PD seolah sulit terjamah dari delik hukum. Berbeda dengan kronologis Andi Malaranggeng atau elit demokrat lainnya yang memang sepertinya cair dalam menghadapi proses hukumnya. Ada medan magnet yang sangat kuat dalam bentuk operasi intelijen yang dilakukan oleh pihak Annas untuk tetap berupaya menjaga eksistensi dirinya sebagai ketua umum Partai Demokrat yang diuntouchable melalui bargaining opini publik yang dilakukan dengan operasi – operasi media massa.
Dalam hal Annas sebagai ketua umum di PD saat ini, peluang Annas secara dingin dan kharismatik dapat menggeser figur SBY baik secara kepemimpinan, pengaruh maupun reputasi dari SBY itu sendiri di 2014 nantinya, alasannya, banyaknya tokoh – tokoh yang tersangkut dengan delik hukum seperti Aulia Pohan, Hartati Murdaya dan juga Andi Malaranggeng dapat dijadikan sebuah alasan karma politis bagi Annas terhadap SBY untuk menjadikannya ( SBY ) tersangkut dengan delik hukum jika masa kepresidenan SBY selesai nantinya. Logika tersebut dapat menjadi hal yang paling mendasar bagi SBY sehingga yang bersangkutan sangat berhati – hati dalam mengatasi persoalan Annas agar turbulensinya tidak berlanjut setelah 2014 nanti. Di sisi lain, kehatian – kehatian tersebut menjadikan SBY menjadi terjebak dalam pola asimetris yang dilakukan oleh Annas. Misalnya dalam hal diberhentikannya Ibas, kemudian mengadakan rapimnas dan yang paling fatal adalah dibatalkannya status Annas sebagai tersangka oleh KPK karena diindikasikan adanya kebocoran sprindik dalam prosesnya. Pengembangan opini asimetris masih berlanjut di hari ini 22/Feb/13, dengan dicekalnya Annas ke luar negeri kendati pengumuman resmi KPK belum keluar.
Dilihat dari kebiasan Ibas yang dikatakan bahwa absensi Ibas biasa dilakukan oleh pengawalnya sementara Ibas tidak berada di tempat, hal tersebut diketahui secara publik oleh media, kemudian ketegasan SBY yang sangat menjaga citra kepemimpinannya serta keluarganya menjadi alasan yang paling mungkin jika keluarnya Ibas adalah perintah dari SBY sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik atas opini yang terbentuk. Hal tersebut dapat dimanfaatkan dalam bentuk persepsi politis bahwa Ibas merupakan politisi yang tidak bertanggung jawab mengingat Ibas memiliki voters yang paling banyak se-Indonesia, lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Edhie_Baskoro_Yudhoyono. Jika opini ini terbentuk, maka dengan bantuan pengamat – pengamat yang kontra terhadap Demokrat, maka persepsi tersebut ditambah dengan kemungkinan Ibas untuk menggantikan Annas sebagai figur yang paling dapat dipercaya oleh SBY. Dua premis tersebut tentunya sudah cukup untuk melegitimasi Ibas sebagai anak SBY yang masih harus banyak belajar dalam dinamika politik partai sehingga menghalangi peran Ibas untuk menjadikan dirinya sebagai bagian penting SBY agar dapat memberhentikan Annas secara santun.
Yang kedua adalah Rapimnas yang dilakukan oleh SBY dilihat sebagai bentuk energi yang terbuang karena tidak menghasilkan keputusan yang efektif terhadap penyelesaian konflik Demokrat. Pakta integritas yang ditandatangani seolah – olah menjadi hambar dengan Annas menandatangani pakta tersebut belakangan dengan alasan sakit, hal tersebut juga merupakan unjuk kekuatan legitimasi Annas terhadap SBY dimana keputusan yang dilakukan oleh SBY tidak serta merta dapat dilakukan secara terpadu dan paripurna tanpa keterlibatan Annas dan para pendukungnya. Di sisi lain, ketidakhadiran Annas akan membuat publik di paksa melihat bahwa perlu energy besar bagi SBY untuk dapat mengatasi permainan Annas di internal partai di saat SBY dengan tegas menuntut kinerja pembantu – pembantunya agar lebih fokus terhadap target – target yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Kendati bahwa dengan pakta integritas tersebut dapat menjadi sebuah alur cerita baru bagi SBY dan Partai Demokrat agar dapat membersihkan gerbong para pendukung Annas yang disinyalir ikut terlibat dalam proses hukum yang sedang membelit Annas.
Yang ketiga, dengan adanya kebocoran sprindik di KPK sangat jelas bahwa operasi media yang dilakukan oleh pihak Annas untuk memperkuat bargainingnya di mata publik bahwa ada pola yang ingin ditunjukan dimana informasi yang sampai kepada SBY dapat menjadi pertanyaan bahwa apakah SBY selama ini hanya mempercayai KPK dari isu, dari sumber tertentu atau dari pimpinan KPK sehingga dapat ditentukan siapa yang menelepon SBY dan siapa yang membocorkan sprindik tersebut ? atau juga diantara pimpinan KPK yang ada, memang ada yang dikendalikan oleh SBY terhadap kasus – kasus tertentu, walaupun dalam konteks tersebut, SBY sebagai kepala negara memang memiliki hak untuk menempatkan orangnya di lembaga – lembaga tinggi negara seperti KPK. Hal ini seolah – olah menjadi insider trading yang berpotensi dapat membocorkan rahasia negara, jika ternyata di tatanan politisi saja pola komunikasinya dapat dimainkan untuk kepentingan yang berpengaruh terhadap stabilitas nasional. Blunder yang kedua kalinya jelas tidak ingin terjadi dengan melihat statement Deny Indrayana yang mengatakan agar menunggu statement resmi KPK terhadap pencekalan Annas ke luar negeri.
Ketiga poin tersebut menunjukan bahwa Annas sudah sangat memahami pola – pola permainan SBY yang sangat mengkedepankan pencitraan individu dan keluarganya, sehingga dengan memanfaatkan pola tersebut maka terbangun pula opini – opini yang asimetris melalui operasi intelijen yang dilakukan Annas dimana berdampak pada berubahnya kebijakan yang dilakukan oleh SBY. Yang terakhir dengan ditetapkannya Annas sebagai tersangka, beberapa pengamat sepakat bahwa karir politik Annas hanya redup untuk sementara di 2014, mengingat kharisma, kekuatan dan jaringan yang dibangun oleh Annas selama ini akan dapat kembali digulirkan seiring dengan selesainya proses hukum yang harus dijalaninya nanti. Kedatangan Akbar Tandjung ke rumah Annas sebagai senior di HMI dalam rangka rasa simpatik, sudah menunjukan betapa dukungan terhadap Annas dari politisi – politisi senior tidaklah hilang begitu saja, hal itu juga seolah – olah untuk mengingatkan Annas oleh Akbar terhadap kasus hukum yang pernah membelitnya yang diputuskan SP3 dengan intervensi Megawati karena adanya bargaining di pemilu 2004.
Sehingga dalam konteks ini bahwa memang sudah seharusnya agar kasus Annas di Partai Demokrat sudah harus diselesaikan sesegera mungkin karena bagaimanapun Annas akan tetap melawan dengan mengesankan sebagai politisi yang terzalimi, disini justru yang dikhawatirkan dimana akan sangat menyita konsentrasi Presiden terhadap proses penyelesaiannya. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu untuk lebih diberikan pencerahan karena permainan ini dan dampaknya juga dirasakan lebih baik terjadi di kalangan internal mereka saja ( PD ) ketimbang harus dibayar dengan tidak jalannya kebijakan pemerintah karena SBY nya yang terlalu larut dalam konflik tersebut. Jangan sampai delapan prajurit TNI yang gugur di Papua menjadi sia – sia  karena hanya menjadi pengalih isu terhadap carut – marut internal Partai Demokrat. Jelas ini tidak main – main……


                                                                             Jakarta, 23 Februari 2013,
                                                                             Mohamad Chaidir Salamun,
                                                          Media Intelligence Consultant IndoSolution.

Selasa, 12 Februari 2013

EFEKTIFITAS KOMUNIKASI ORGANISASI PKS di FASE KRISIS



Dalam beberapa hari pertama, kasus yang menimpa LHI dengan penahanannya oleh KPK, menimbulkan banyak polemik dari berbagai kalangan dengan berbagai kepentingannya. Trend yang muncul dari sikap para analis di beberapa media nasional adalah cenderung mengopinikan kejeblokan suara PKS untuk pemilu 2014 serta hajatan dua pilkada di Jabar dan Sumut dengan calon PKS untuk sementara dijagoka sebagai pemenang pilkada tersebut. Kemudian juga kontra opini terhadap statement Anis Matta bahwa adanya konspirasi dan rekayasa kasus dan operasi untuk menjerat petinggi partai politik. Jika dilihat dari dampak yang muncul setelah ditahannya LHI maka, sangatlah logis jika sebuah organisasi mengalami fase kepanikan karena pucuk pimpinannya berada dalam masalah yang sangat berpengaruh terhadap reputasi organisasi untuk kedepannya.
Menurut pengamatan saya, ada satu hal yang harus digaris bawahi dimana, sepertinya para elit PKS belajar betul dengan prahara yang terjadi di Partai Demokrat. Disinilah keunggulan elit PKS dapat meredam gejolak di dalam organisasinya sehingga tetap dapat membentuk opini yang keluar hanya dari elit PKS yang memang berkompeten untuk menjawab kasus yang sedang menimpa partai tersebut. Elit PKS menyadari bahwa organisasi ini sejak awal dibangun melalui jaringan intelektual kampus – kampus dan mendapat dukungan ideologis yang mengakar. Adapun tingkat dukungan dari kalangan rakyat ketika proses pemilu berlangsung adalah merupakan karena adanya proses komunikasi politik yang dibangun melalui jaringan intelektual PKS sehingga mendapatkan simpati dari rakyat secara signifikan pula. Hal itu terbukti di tahun 1999 dengan perolehan suara di Jabotabek dimana secara psikologis pemilih PKS merupakan bentuk massa ideologis dari hasil kampanye jaringan intelektual PKS.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, PKS telah membangun dan memiliki fondasi jaringan komunikasi organisasi yang sangat baik, hal itu sangat penting untuk tetap menjaga kestabilan dan memelihara reputasi organisasi jika tiba – tiba berada dalam fase krisis seperti saat ini. Tahapan transisi di tingkat elit yang dilakukan oleh PKS pun terlihat sangat halus, pergantian pucuk pimpinan secara otomatis berganti dan tidak menimbulkan faksi dengan kelompok – kelompok pimpinan yang lama. Hal itu memudahkan PKS untuk segera melakukan konsolidasi serta dapat dilakukan dengan cepat terhadap wilayah yang segera akan melangsungkan Pilkada seperti Jawa Barat dan Sumatera Utara. Hubungan baik elit PKS dengan stakeholder politiknya dalam kerangka komunikasi politik tetap terjaga dengan mundurnya Anis Matta sebagai ketua DPR sekaligus untuk menjaga citra PKS agar tidak ada rangkap jabatan. Kemudian counter opini terhadap isu – isu penyelundupan daging sapi dilakukan secara sistematis oleh 3 orang elit PKS yaitu Anis Matta, Tiffatul Sembiring dan Hidayat Nurwahid, sehingga menghindari adanya disinformasi isu seandainya ada kader lain yang terlibat dalam kasus tersebut sebagai tersangka baru.
 Inilah yang membedakan dengan partai demokrat yang elit – elitnya cenderung menjadi besar kepala ketika banyak kadernya terseret oleh kasus korupsi sehingga karena adanya kekosongan di posisi strategis partai dan pemerintah maka seolah – olah para kader ingin menunjukan kesetiannya terhadap Presiden SBY. Dan friksi internal pun menjadi terbawa kedalam pertarungan di ruang publik yang berdampak terhadap menurunnya popularitas partai di mata konstituennya.
Satu lagi yang menurut saya PKS tidak akan mengalami penurunan konstituen seperti partai demokrat adalah konstituen intelektual dan ideologis yang dimiliki oleh PKS. Dalam kasus penahanan LHI, salah seorang kawan saya di sosial media  mengajak berdiskusi secara kronologis detilnya kemunculan kasus yang sebetulnya secara metodis tidak berbeda dengan kasus – kasus seperti Antasari, Munir dan Gusdur ketika bullogate berlangsung dimana selalu ada aktor yang tidak diduga dan disinyalir merupakan susupan dari lawan politik yang diopinikan dalam bentuk teman dekat, diskusi tersebut menunjukan bahwa adanya kecenderungan untuk dapat mengetahui kebenaran kasus yang dilakukan oleh konstituen PKS dan saya yakin pola tersebut terus bergulir dalam bentuk komunikasi antar kelompok, sehingga para konstituen dapat menempatkan sudut pandangnya di antara opini – opini negatif yang muncul dari para analis – analis yang berkepentingan terhadap rusaknya reputasi PKS. Sehingga, walaupun ada sejumlah kasus yang sangat mempengaruhi reputasi PKS, setidaknya dibandingkan dengan parpol lain PKS tetap akan tetap relatif lebih tenang dalam membangun konstituennya pada pemilu 2014 mendatang.

                                                                   Jakarta, 08 Februari 2013
                                                                   Mohamad Chaidir Salamun
                                                                   Media Analyst IndoSolution