Jumat, 22 Maret 2013

TIJITIBEH



Adalah karakter SBY mungkin yang ada dalam benak saya dimana isu kudeta dianggap sangat urgent untuk menjadi penutup isu – isu lain. Hal ini mengingatkan saya terhadap rezim orde baru ketika PKI menjadi isu yang sangat strategis untuk menutupi kelemahan yang dialami oleh rezim tersebut. Tetapi apakah isu kudeta tersebut dapat dianggap efektif untuk dapat meredam lawan – lawan politiknya. Karena menurut nalar logika saya, memerlukan proses yang ngejelimet bagi seseorang untuk akan melakukan kudeta. Sebagai contoh, tahun 1997, dengan susah payah dan menuruti panggilan hati nurani, siang dan malam, Almarhum Letkol Djuanda melatih para aktivis mahasiswa di Jakarta dengan dasar – dasar intelijen dan pengetahuan kemiliteran tentang perang kota dengan harapan untuk dapat meminimalkan korban jiwa di kalangan mahasiswa seandainya kejatuhan Soeharto sudah tidak dapat dihindarkan lagi nantinya. Kondisi ini yang dipersepsikan sebagai usaha kudeta oleh penguasa ketika itu, karena memang menjadikan mahasiswa menjadi lebih radikal serta semakin memanaskan situasi di Ibu Kota ke arah chaos yang tidak terkendali, kesemua itu didasari oleh bentuk kekecewaan terhadap roda pemerintahan ketika itu dan saat ini kondisi tersebut terjadi dalam bentuk seperti tidak bisanya pemerintah mengendalikan harga bawang merah dan bawang putih. Kemudian kita melihat Ratna Sarumpaet, kita tahu wanita ini adalah aktivis yang begitu concern terhadap persoalan keseharian ibu – ibu terutama dengan kenaikan harga yang begitu memberatkan kaum ibu, ketika tahun 1997, Ratna Sarumpaet juga melakukan penggalangan aksi terhadap harga susu murah, karena ketika itu harga susu semakin tidak terjangkau. Hanya bentuk sounding saja dari Ratna Sarumpaet yang memang sangat berani sehingga rezim orde baru ketika itu memasukan kedalam daftar aktor yang berpotensi merongrong pemerintah ketika itu. Tetapi dalam persoalan kudeta tetap saya melihat tokoh tersebut seolah – olah tidak mendapatkan perhatian khusus dari pengawasan intelijen karena mungkin sudah dapat terpetakan kemampuan pengorganisirannya. Demikian juga dengan Adhi Massardi, kendati pernah berstatus sebagai Jubir Presiden yang bersangkutan juga memang memiliki rasa perhatian yang tinggi terhadap isu – isu bagi kalangan bawah seperti kenaikan harga bawang merah dan bawang putih, tetapi bukan berarti memiliki potensi dapat melakukan kudeta secara inkonstusional. Oleh karena itu, dengan dibenturkannya kedua orang ini dengan negara melalui informasi intelijen apakah bukan sebaliknya untuk menutupi isu melangitnya harga bawang. Atau memang sebetulnya itu adalah bagian dari sebuah strategi panjang pemenangan bagi SBY terhadap pemilu 2014, dimana SBY memiliki pengalaman memenangkan 2 kali pemilu ?????
Kemarin pagi, saya sempat mengobrol santai dengan salah seorang senior saya yang memiliki reputasi politik yang cukup mumpuni. Beliau mengatakan bahwa di tahun 2004 dikala SBY sebelum berhenti menjadi MenkoPolkam, saat itulah ketika operasi militer Aceh berlangsung, kesempatan untuk mengumpulkan logistik bagi dana kampanye Demokrat mulai dilakukan dengan mendompleng operasi militer tersebut sebagai modal awal untuk keikutsertaannya dalam pemilu untuk pertama kalinya. Momentum ini juga yang menyebabkan Megawati menjadi sebal terhadap SBY karena perintahnya untuk membereskan persoalan GAM di Aceh menjadi tidak utuh penyelesaianya. Rasa kekesalan itu mungkin juga dimanfaatkan oleh SBY ketika emosi Taufik Kemas yang sudah memuncak sehingga dikemas dalam bentuk Jenderal yang teraniaya. Di sisi lain, Hari Sabarno yang menjabat sebagai Mendagri, tentunya mengetahui kejadian tersebut tetapi karena dibawah koordinasi Menko Polkam hal tersebut cenderung menjadi pembiaran. Logika ini mungkin saja dapat diangkat kembali jika melihat Hari Sabarno terkena kasus korupsi Damkar dan berakhir di penjara serta menambah panjang rentetan daftar pejabat yang dekat dengan SBY dan kemudian masuk penjara karena kasus korupsi. Jika betul logika kecurangan politik itu terjadi, maka dalam 2 kali periode pemilu di 2004 dan 2009 incumbent menjadikan bahwa kecurangan sistemik adalah syarat mutlak kemenangan pemilu di Indonesia. Sehingga apakah syarat tersebut akan diberlakukan kembali di 2014, dimana tentu saja dengan tujuan berbeda bukan dalam bentuk mempertahankan kekuasaan tetapi mendapatkan kenyamanan setelah berkuasa. Jika dilihat dari data – data kuantitatif di 2004 dan 2009, sangat logis bila unsur – unsur rekayasa dilakukan oleh incumbent. Ketika 2004, Demokrat meraih 7,45 % suara dan berada di peringkat 5, selanjutnya angka kemenangan fantastis diperoleh dalam bentuk 20 % lebih dan keluar sebagai pemenang di tahun 2009 baca : http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Demokrat , seandainya jika tidak ada kasus Nazarudin atau prahara Annas, apakah angka fantastis tersebut akan terus bertambah di 2014? Dan juga jika kita melihat angka – angka perolehan 10 besar di 2009, cenderung terjadi cluster atau pengelompokan angka kemenangan yang diperoleh oleh partai – partai. Pengelompokan tersebut dibutuhkan dalam rangka berkoalasi untuk kelancaran jalannya pemerintahan jilid II, tentunya hanya sekelas incumbent dengan kualifikasi mantan TNI dan Kaster yang memiliki logika – logika memainkan papan catur seperti ini. Deksripsi ini jelas membutuhkan analisis lebih dalam lagi dan berdasarkan instuisi serta data – data yang dimiliki sebagai syarat pembanding, tetapi sebagai wacana dan untuk kepentingan penyadaran masyarakat, saya kira tentunya akan lebih baik jika kita terus dapat memberikan informasi yang obyektif agar kemelekan itu akan terus terjaga seiring dengan banyaknya kemunculan isu – isu sampah seperti kudeta.
Dari 2 wacana diatas, tidak salah jika saya sebutkan bahwa saat ini, SBY sedang berada dalam titik kekhawatiran tertingginya, potensi pengkhianatan dari dalam serta usaha pengeroposan reputasi individunya disinyalir akan membuat dirinya tidak aman pasca lengsernya menjadi Presiden nanti. Mengingat saat ini budaya baru dikita adalah pejabat masuk penjara karena kasus korupsinya setelah mereka berkuasa dan juga beberapa kawan dekat Presiden yang masuk penjara, secara psikologis memunculkan karma politik karena kehilangan kekuasaan. Poin ini yang harus dilempar ke masyarakat umum karena poin inilah yang menjadi acuan bagi incumbent untuk memplot hasil pemilu 2014 demi keselamatan dirinya kelak. Bagaimana logika – logika kecurangan politik dalam bentuk pengclusteran kemenangan Partai yang akan menguntungkan incumbent saat ini, bagaimana proses itu akan dilakukan dan siapa dengan siapa yang akan diplot sebagai pemenang sehingga akan menjamin keamanan incumbent kelak, hal – hal ini yang harus terus digulirkan obyektifitasnya ke masyarakat.
Hancurnya reputasi Demokrat mungkin akan sedikit menyulitkan incumbent untuk kembali memenangkan pemilu seperti di 2 event terdahulu, saya melihat bahwa kepentingan yang paling penting adalah faktor keselamatan incumbent sehingga seandainya Demokrat harus bubar, itu bukanlah persoalan krusial, termasuk seandainya Ibas harus masuk penjara jika terbuktir bersalah. Nah justru ketika Demokrat sedang dalam titik reputasi terendahnya, berbagai isu – isu deception muncul seperti adanya isu kudeta sehingga memunculkan mana lawan dan kawan di media cetak. Jika Ratna Sarumpaet dan Adhi Masardhi tidak bisa diklasifikasikan sebagai aktor berpotensi kudeta, maka tidak salah juga jika KSAD saat ini, berstatus adik ipar incumbent memiliki potensi untuk melakukan kudeta Baca : http://www.solopos.com/2013/03/21/pramono-edhie-wibowo-tidak-akan-ada-kudeta-389900, seolah – olah historis sejarah kerajaan Jawa yang penuh dengan konspirasi sedang diketengahkan terjadi karena pertarungan orang – orang terdekat dengan penguasa. Karena dalam konteks kudeta negara, angkatan daratlah yang paling siap jika memang kondisi tersebut harus dilakukan.
Dan yang terakhir adalah terbakarnya gedung SetNeg, tentunya polemik akan dengan mudah muncul misalnya penghilangan dokumen kasus seperti Century dan juga yang terkait keluarga Presiden seperti yang dilaporkan oleh Yulianis di Koran Sindo, Baca : http://news.liputan6.com/read/541520/adhie-massardi-setneg-terbakar-untuk-amankan-dokumen-century,  sebelumnya rumah orang tua SBY di Pacitan berantakan di terjang angin putting beliung, Baca : http://www.aktual.co/nusantara/071138rumah-orangtua-sby-hancur-diterjang-angin-puting-beliung, kalau secara holistik orang melihat ini sebagai suatu peringatan terhadap incumbent untuk Pemilu 2014 itu syah – syah saja, dengan kejadian alam ini maka persepsi itu akan semakin kuat jika narasi – narasi diatas dapat dibuktikan secara nalar yang logis dan obyektif sehingga masyarakat juga dapat memahami kondisi real yang terjadi bagi pemilu 2014 nanti.

                                                                                                 
Jakarta, 22 Maret 2013
Mohamad Chaidir Salamun  
Media Intelligence IndoSolution

Minggu, 17 Maret 2013

Prabowo dan Ke 7 Jenderal Pahlawan Revolusi



Walaupun tulisan ini dirasakan telat, tapi masih dirasakan menjadi fenomena menarik yang saya amati di minggu kemarin ketika Presiden SBY memanggil Prabowo seorang diri dan menghabiskan waktu 2,5 jam untuk membicarakan situasi terakhir bangsa ini serta penjelasan bagaimana kepemimpinan SBY selama menjabat menjadi Presiden jilid II. Sah – sah saja jika seorang Presiden memanggil koleganya yang sesama satu angkatan atau pernah terlibat secara dekat waktu yang lama di lingkungan TNI. Dan juga jika publik melihat jika pemanggilan itu merupakan terkait dengan 2014. Yang lebih menarik lagi adalah setelah pemanggilan Prabowo, dipanggil pula 7 Jendral Purnawirawan yang kesemuanya terlibat transisi kekuasaan di masa reformasi dan juga reformasi TNI. Proses tersebut mengingatkan saya ketika Prabowo menjalani proses Dewan Kehormatan Perwira (DKP) karena kasus penculikan di tahun 1998, dimana para Jenderal yang mengadilinya ada diantara ketujuh Jenderal tersebut, sehingga apakah fenomena tersebut diindikasikan terkait dengan masa lalu yang bertujuan untuk menciptakan perimbangan kekuatan terhadap pencalonan tentara sebagai Presiden di 2014 nanti.
                Ketujuh Jenderal tersebut, merupakan indentik dengan inner cycle Jenderal Wiranto, bahkan beberapa diantaranya seperti Suady Marasabessy dan Fachrul Razi adalah para pentolan ketika tim sukses Wiranto pertama kali terbentuk pada waktu 2004 lalu. Sehingga gerbong ke 7 jenderal tersebut tentunya sangat mengetahui detil kekuatan bagaimana usaha Wiranto dalam proses 2014 nanti. Dengan peta kekuatan tentara saat ini hanya terbagi dua terhadap Wiranto dan Prabowo yang sudah sangat membekas dengan guratan – guratan framing di media sebagai warisan futurisitis yang ditinggalkan oleh mereka pada 2 periode pemilu lalu. Logikanya jika perseteruan di masa lalu ( ketika masih berdinas aktif ) masih menjadi momok hingga saat ini, tentunya SBY jika menjadikan Prabowo sebagai Capres dari Partai Demokrat dalam bentuk Prabowo – Hatta, maka akan mendapat gangguan yang cukup signifikan dari kelompok ke 7 jenderal ini, mengingat dibawah komando Luhut Pandjaitan, kelompok ini memiliki dukungan logistik yang cukup signifikan untuk masuk ke dalam kancah politik sekelas pemilu nasional.
                Beberapa diantara ke 7 jenderal tersebut memiliki kesetiaan yang cair dimana cenderung ikut terhadap gerbong pemenang. Misalnya Suady Marasabessy ( SM ) yang ketika di tahun 2004, begitu Wiranto dinyatakan kalah dan SBY masuk ke putaran kedua, Jenderal SM langsung masuk ke gerbong SBY dan masuk dalam bursa pencalonan menteri ketika SBY dinyatakan resmi memenangkan pemilu bersama Jusuf Kalla saat itu. Historikal tersebut tentunya menjadi pegangan SBY untuk dapat mengendalikan pengaruh – pengaruh Jenderal – jenderal tersebut terhadap kandidat yang menjadi jagoan SBY seandainya SBY memunculkan jagoannya dari kalangan TNI terlebih Prabowo misalnya. Disisi lain, pemanggilan tersebut, cenderung mengarah kepada adanya usaha untuk membelah kekuatan Wiranto oleh SBY baik secara ideologis TNI maupun secara historikal perkawananannya. Hal itu dirasakan penting mengingat ketika SBY menjadi Kasospol cukup memberikan pengaruh terhadap kemungkinan Wiranto melakukan pengambilalihan kekuasaan baca : http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Wiranto-Pernah-Diminta-Susilo-Kudeta. Sehingga rasanya kurang logis jika SBY akan mendukung Wiranto dan juga seiring dengan perkirakan banyak orang, dengan masuknya Hary Tanoe ke Hanura sudah jelas mempertebal rasa percaya diri Wiranto dalam dalam proses di 2014 nanti atau minimal calon yang dijagokan oleh Hanura mendapat simpati publik melalui branding di media – media yang dimiliki oleh Hary Tanoe, sudah jelas bahwa saat ini, kekuatan Wiranto sangat diperhitungkan oleh SBY. Sehingga kemungkinannya jika Wiranto urung untuk mencalonkan diri, maka reputasi Hary Tanoe lah yang akan dijadikan sebagai motor penggerak Hanura dengan basis Perindonya, karena ormas ini akan menjadi perekat bagi tokoh – tokoh yang partainya tidak lolos seleksi KPU.
                Disini kita dapat melihat apakah kemungkinan Jokowi akan dimasukan kedalam arena pertarungan mengingat  magnet Jokowi dapat diterima di semua kalangan partai atau dianggap sebagai kader terbaik PDIP saat ini kondisi itu tentunya dibarengi dengan dikebutnya implementasi kebijakan – kebijakan didalam penyelenggeran Pemprov DKI Jakarta yang dikemas dalam bentuk agenda setting blusukan Jokowi, sehingga secara sistematis reputasi Jokowi tetap terjaga untuk kebutuhan politis sewaktu – waktu bagi PDIP. Artinya ketokohan Jokowi dapat  menjadi alternative terakhir sebagai tokoh pamungkas PDIP  jika terjadi deadlock calon PDIP atau sebagai posisi tawar terhadap partai lain dalam pasang memasangkan duetnya. Potensi lain yang dapat berunifikasi adalah kemungkinan Jokowi berpasangan dengan Hary Tanoe untuk menyolidkan kekuatan antara nasionalisme agama serta pluralisme di Indonesia, Hal ini sangat mungkin terjadi jika proses Pilkada banyak dimenangkan oleh pemimpin dari kalangan China – Nasrani, sehingga dapat menjadi sebagai bentuk tekanan dari daerah ke pusat. Baca : http://politik.kompasiana.com/2013/03/10/pdip-hatta-para-elit-pengusaha-china-540884.html. tentunya itu terjadi dengan perhitungan bahwa Wiranto sudah dua kali kalah dengan kekalahan yang kedua pada pemilu 2009, cenderung lebih mencolok karena faktor kinerja mesin politiknya yang masih minim pengalaman serta memiliki beban penyusutan elektabilitas karena faktor reputasi serta alternatif kemunculan calon lain yang lebih disukai publik. Perkembangan saat ini juga seiring dengan kekalahan Golkar secara telak di beberapa Pilkada seperti Jakarta, Jabar dan Sumut sehingga internal Golkar dalam hal ini Aburizal Bakrie ( ARB ) terlihat masih meraba – raba untuk dapat menemukan bentuk kepercayaan dirinya dalam menghadapi minimnya elektabilitas beberapa survey terhadap dirinya, serta PKS yang terus memburu kemenangan pilkada sebagai penutup reputasi karena kasus LHI dan agar dapat memudahkanya di Pilpres 2014 nanti.
                Kembali kepada Prabowo dan ke 7 jenderal yang dipanggil, saya lebih melihat kejelian dari SBY dalam memainkan papan catur yang dimilikinya dalam bentuk balance of power terhadap kebutuhan permainan tentara di pentas politik saat ini. SBY tidak akan melepas begitu saja kekuasaan terlepas secara utuh dari Demokrat karena mungkin diperlukan 5 tahun atau 1 periode bagi Demokrat untuk dapat kembali menata reputasinya karena krisis internal yang berkepanjangan. Oleh karena itu tetap SBY akan menempatkan kandidat yang dapat dijadikan tempat bagi Demokrat sebagai pijakan untuk perbaikan partai tersebut. Sehingga apakah SBY akan terus mendorong Prabowo sebagai penerus estafet RI 1 yang notabene kembali dipegang oleh tentara. Dengan reputasi yang tegas, serta kejam dan cenderung memaksa terhadap kesetiaan para pengikutnya, apakah figur Prabowo dirasakan pantas sebagai suksesor SBY… ??? Silahkan masyarakat menilai perkembangan tersebut dan jangan melupakan sejarah bagaimana ketika figur Prabowo ketika merangkak dari Kolonel hingga menjadi LetJend yang memerlukan waktu tidak terlalu lama walaupun berstatus menantu Presiden saat itu. Tetapi, ini  dapat menjadi referensi tersendiri bagi masyarakat untuk melihat reputasi Prabowo dalam meraih kekuasaannya.

                                                                                Jakarta, 18 Maret 2013
                                                                                Mohamad Chaidir Salamun
Media Intelligence IndoSolution
                                                                                 

Minggu, 10 Maret 2013

PDIP, Hatta & Para “ elit “ Pengusaha China

Kekalahan Effendi Simbolon dalam Pilgub Sumatera Utara dan juga Rieke Dyah Pitaloka di Jabar tidak lepas dari sorotan bagaimana PDIP mencoba peruntungannya untuk menggunakan Jokowi dalam proses pilkada tersebut agar dapat mengulang sukses seperti di Jakarta. Majunya Jokowi untuk berkampanye dalam konteks kawan separtai ternyata tidak dapat membantu secara signifikan untuk dapat meraih suara bagi kedua kandidat tersebut. Hal tersebut tentunya semakin menguatkan kata hati saya bahwa kemenangan Jokowi di Pilkada DKI kemarin adalah bukan karena magnet kepemimpinannhya yang kuat, tetapi karena sudah tidak maunya warga Jakarta untuk dipimpin oleh Foke kembali. Di sisi lain, majunya Ahok sebagai figur pendamping Jokowi yang notabene seorang Nasrani – China juga akan memunculkan fenomena kepemimpinan yang dipimpin oleh figure yang berasal dari suku serta agama tersebut. Hal ini saya ungkap bukan bermaksud untuk menyentil “ SARASINISME “ dalam opini yang sedang dibangun tetapi ada perkembangan yang secara implisit tidak tertangkap oleh publik bahwa ada kepentingan besar dibalik pertarungan antara Barat dan Timur terhadap legitimasi pertarungan kepemimpinan Indonesia di tahun 2014 nanti. Dan hal tersebut sudah secara sistematis terbangun dengan mulainya bermunculan pemimpin China dan Nasrasni dalam peta politik Indonesia di daerah – daerah melalui proses Pilkada terlebih dengan kemenangan Ahok sebagai pendamping Jokowi.
Katakanlah ketika berlangsung demo buruh secara radikal beberapa waktu lalu , dimana framing media yang menurut pengamatan saya sangat memihak terhadap buruh melalui statement – statement pemerintah serta mencoba menarik pengusaha untuk bertarung di ruang publik berakhir dengan dikabulkannya tuntutan kaum buruh terhadap kenaikan UMR hal ini memunculkan persoalan baru dimana para pengusaha yang keberatan terhadap kenaikan tersebut meminta penundaan kenaikan UMR tersebut. Hal tersebut direspon oleh pemerintah melalui Iqbal sebagai pentolan kaum buruh dalam hal ini dipersilahkan bagi pengusaha untuk merelokasi usahanya ke daerah yang masih murah upahnya agar pemerintah tetap dapat menjalankan regulasinya bagi kepentingan kaum pekerja. Statement ini tentunya sangat politis dan sangat mungkin tertitip agenda besar bagi kepentingan investasi di sebuah kawasan usaha seperti di Cikarang, bagaimana kedepannya jika relokasi jadi dilakukan oleh pengusaha. Tentunya sangat tidak mungkin kawasan bergengsi seperti Cikarang dibiarkan menjadi lahan tidak produktif karena ditinggal relolasi. Maka sangat logis sekali jika reputasinya semakin ditingkatkan menjadi kawasan yang super elit bagi kalangan tertentu yang dapat menentukan arah investasi di negeri ini. Inilah yang menjadi pertanyaan ? apakah kelanjutan investasi di kawasan tersebut akan diisi oleh Timur ( China ) atau Barat melalui aneksasi penguasaan perusahaan tambang misalnya seperti Rotschild.
Saya mencoba mengkaitkan fenomena tersebut dengan beberapa kemenangan pemimpin yang berasal dari China dan Nasrani dalam beberapa Pilkada di Indonesia seperti kemenangan Ahok. Di beberapa daerah kemenangan tersebut dikuasai oleh pemimpin yang berasal dari China – Nasrani maka dengan kemenangan tersebut, melalui tekanan dari bawah tentunya akan semakin menguatkan bahwa di Pilpres 2014 minimal potensi wakil Presiden nanti sangat mungkin berasal dari China Nasrani. Masuknya Hari Tanoe di Hanura menambah tajam sorot mata Wiranto dalam memasuki pertarungan Presiden di 2014, sehingga jika Hari Tanoe muncul sebagai Wakil Presiden mendampingi Wiranto maka  legitimasi tentara akan terseret kearah Wiranto dengan memanfaatkan reputasi SBY yang sedang terpuruk dan tentunya akan terbagi dua antara Wiranto dan Prabowo sebagai pertarungan di kalangan tentara dengan asumsi bahwa tidak ada pensiunan lain yang mencalonkan.
Jika benar konstalasi ini yang berkembang saya kira harus dilihat urgensi terhadap baik – buruknya terhadap kehidupan bangsa ini dimasa depan. Oleh karena itu pemimpin atau capres seperti Prabowo tentunya sangat tidak diharapkan memimpin Indonesia jika kebijakannya tidak pro terhadap etnis pengusaha elit China di 2014 nanti, duri dalam daging itu terus ditanam seperti munculnya kasus penangkapan Hercules sebagai kerikil reputasi bagi Prabowo dimana Hercules disebut – sebut sebagai salah satu penjamin kemenangan Jokowi dalam Pilkada lalu dengan penempatan pasukannya sebagai pengawas pada saat perhitungan suara. Kemudian model pemimpin seperti Aburizal Bakrie yang sudah habis – habisan bertarung melawan Rotcshild saya kira harus mendapat perhatian dan apresiasi besar bahwa ternyata yahudi dapat dilawan dengan keyakinan yang tulus dan nasionalisme tetapi disisi lain juga yang bersangkutan sebagai pengusaha kakap jika dapat menjadi Presiden RI, dianggap dapat merubah peta pengusaha di Indonesia melalui regulasinya oleh karena itu hal tersebut dapat tidak menguntungkan bagi elit pengusaha China connection terhadap keberlangsungan usahanya nanti. Gonjang – ganjing elektabilitas Aburizal Bakrie di masyarakat dan Partai Golkar sebagai RI 1 saya kira juga tidak terlepas dari pengaruh kepentingan dibalik ini.
Keunikan yang muncul terhadap kepemimpinan di 2014 nanti menunjukan adanya kekacauan kepercayaan di tatanan masyarakat terhadap kondisi di elit dengan berbagai kasus korupsi yang melibatkan para elit dan memang saat ini, negeri ini sedang kacau. Hal itu berbeda di tahun 99 yang memunculkan calon Habibie dan Non-Habibie, kemudian di 2004 yang memunculkan calon Mega, SBY dan Wiranto serta di 2009 dengan SBY sebagai calon tunggal. Di 2014 yang tinggal setahun lagi, saya melihat seolah – oleh potensi kepemimpinan di 2014 nanti, ada yang menggiring secara sistematis terhadap kepentingan blok tertentu yang mengarah ke timur ( China ), test case yang dilakukan oleh Jokowi di Jawa Barat dan Sumatera Utara baru – baru ini dapat diindikasikan sebagai penjajagan terhadap kemungkinannya yang bersangkutan jika dilamar menjadi Wapres 2014 nanti. Tetapi saya lebih melihat jika Jokowi sampai maju maka Ahok yang menggantikannya akan semakin membuktikan hipotesis terhadap design bahwa pemimpin dari tatanan China dan Nasrani sangat dipaksakan saat ini untuk mendapatkan legitimasi terhadap kemudahan investasinya di Indonesia.
Terkait dengan konspirasi di balik demo buruh diatas, Hatta Rajasa menurut saya adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap keluarnya statement Iqbal tersebut, dan yang paling logis adalah dengan menarik Jokowi sebagai wapresnya jika Hatta sampai maju sebagai Presiden maka dengan suplai logistik dari pengusaha – pengusaha elit China dapat dikucurkan tentunya dengan adanya konsesi penguasaan lahan di Cikarang seandainya terjadi eksodus relokasi bagi pengusaha di daerah tersebut ( logika ini masih debatable ).
Sekali lagi, tulisan ini bukanlah untuk bermaksud sebagai bentuk “ SARASINISME “ tetapi, saya hanya mencoba untuk bertukar pikiran dalam bentuk pencerahan  dimana ketika semua mata sibuk terhadap kasus – kasus korupsi dan rusaknya Partai Demokrat serta pencitraan SBY atau blusukannya Jokowi, saya kira kita semua harus tetap memperhatikan perkembangan yang terjadi kemudian menganalisanya serta harus diinformasikan secara transparan dalam bentuk opini publik sehingga masyarakat mendapat informasi yang lebih obyektif dalan menentukan sikapnya terhadap perkembangan politik melalui isu – isu yang dibangun oleh elit – elit kita saat ini.

Jakarta, 10 Maret 2013.
Mohamad Chaidir Salamun
Media Intelligence IndoSolution.