Rabu, 09 Juni 2010

Pesan Perlawanan Terhadap Bangsa Yahudi

Dalam beberapa hari terakhir ini, media nasional begitu gencarnya menampilkan pemberitaan mengenai insiden Mavi Marmara sehingga agenda setting media berhasil mengajak khalayak dalam menyimak kebrutalan tentara Israel dengan tindak kekerasannya yang menunjukan nalurinya sebagai Negara buffer state di Timur Tengah dalam upaya  menegakan nilai – nilai doktrin leluhurnya sebagai Negara yang berdaulat menurut kitab suci mereka.

Dampak psikologis yang paling sederhana dari keberhasilan agenda public media adalah bergeloranya kembali semangat antisemit masyarakat internasional yang ditujukan terhadap masyarakat di wilayah tersebut serta semakin menguatnya dukungan terhadap kedaulatan Palestina. Kemudian munculnya pertentangan terhadap aksi – aksi yang dilakukan oleh Israel terhadap 1,5 juta msyarakat di Gaza yang tidak mendapatkan dukungan kemanusiaan akibat blockade yang dilakukan Israel.

Ada satu hal yang saya garis bawahi terhadap tindakan brutal Israel yang dilakukan secara frekuentif dalam menjaga eksistensi dan tujuan bangsanya. Terlepas dari peran agen – agen Mossad di Negara tersebut dalam melakukan operasi tertutupnya.

Jika dilihat dari perjalanan bangsa tersebut ( Israel ), secara eksplisit memang memiliki hak untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Palestina yang notabene melawan traktat – traktat internasional PBB. Kondisi Yahudi yang terpisah akibat proses diaspora di masa lampau, membutuhkan sebuah tempat yang kondusif terhadap eksistensi ideology mereka di suatu tempat ( Yerusallem ) yang telah dijanjikan selama ribuan tahun dalam kitab suci mereka. Disini menjadi kebutuhan terhadap Yahudi sebagai sebuah entitas baik secara global maupun local ( di wilayah Israel ) untuk proses ritual dalam rangka mempertahankan eksitensi mereka. Disamping itu, pemahaman mereka terhadap Talmud sebagai sebuah isme menjadi pengikat mereka terhadap proses – proses diaspora yang mereka lakukan. Artinya disini ada kesan terhadap “ act local think global “ sehingga jika terjadi tindak anarkisme yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, seolah – olah selalu ada legitimisasi dari barat, meski seperti dalam insiden Marvi Marmara, barat mengecam tindakan yang dilakukan Israel.

Bangsa Israel, jika dilihat dari tatanan Sosio – Anthorpologis perjalanannya, tidak lebih hanya sebuah komunitas yang dalam konteks social pyramid global keyahudian menempati strata golongan terbawah atau sudra. Mereka merupakan kumpulan massal yang bermigrasi dari wilayah – wilayah konflik dan tidak ingin lepas dari doktrin wahyu di bukit zion. Dalam tingkat pola pikir tertentu, mereka tidak memiliki peranan penting sebagaimana lazimnya tokoh – tokoh Yahudi diaspora yang mempengaruhi jalannya ilmu pengetahuan dan juga sosial budaya peradaban.

Dalam hal ini juga harus dilihat sisi nasionalisme bangsa Arab yang sebetulnya memiliki nilai hitoris yang luar biasa. Sejarah mencatat aneksasi dari Alexander The Great, tentara Abrahah, pasukan Tartar, kesemuanya menemui kegagalan dalam aneksasinya di jazirah arab. Sementara bangsa Yahudi dapat masuk ke Arab ketika momentum penghancuran kuil di Yerusalem pada abad I masehi oleh Raja Titus, sehingga dalam statusnya sebagai pengungsi, mereka dapat diterima oleh masyarakat Arab dan berakulturasi dimana Arab menerima nilai – nilai kebudayaan Bangsa Yahudi yang memang sangat dibutuhkan oleh Bangsa Arab dalam pengembangan peradabannya ketika itu. Sehingga kebergantungan bangsa – bangsa yang didiami oleh Yahudi terhadap keberadaan Yahudi sangat dirasakan. Katakanlah kondisi saat ini dimana ras kuning yang sedang berada di ujung tanduk akibat ketegangan di semenanjung Korea. Dan juga krisis keuangan yang melanda Eropa dimana dalam menjawab persoalannya masih membutuhkan tangan – tangan dingin dari peran Yahudi diaspora.

Karena tidak adanya tekanan politis dari Arab, menjadi sebuah entry point dalam menjadikan Israel dan Palestina sebagai Negara penyangga untuk tetap memelihara konflik di timur tengah. Sehingga kelunturan nasionalisme Arab saat ini, merupakan konsekuensi logis bukan hanya karena pengaruh rayap – rayap korporasi barat terhadap sumber daya alam di wilayah tersebut, tetapi juga harus melihat kebelakang bagaimana proses akulturasi bangsa Yahudi di jazirah Arab.

Dari kondisi ini, dimana titik pijak untuk dapat melakukan perlawanan secara efektif terhadap hegemoni yang diagendakan dalam konflik Israel dan Palestina ? apakah dengan melakukan demontsrasi mengutuk kebiadaban pola yang dilakukan Israel dapat menyelesaikan masalah dan juga mobilisasi global bangsa Indonesia kepada Negara – negara OKI terhadap agresi Israel di kapal Mavi Marmara dan juga blockade Gaza dapat mengurangi hegemoni rantai Yahudi yang begitu mendunia ?

Memahami secara utuh bangsa Yahudi baik dari sisi ras maupun keturunan bangsa tersebut, menurut saya menjadi salah satu cara efektif untuk dapat melawan hegemoni yang panjang selama 4000 sehingga secara sistematis kita dapat memiliki kunci – kunci jawaban terhadap bagaimana mereka bisa bertahan dari kondisi kritis yang mengancam terhadap kepunahan eksistensi mereka. Kemudian memahami pola survival of the fittest mereka akan menuntun terhadap apa yang menjadi tujuan mereka di pentas peradaban ini dalam konteks klaim mereka sebagai bangsa pilhan tuhan.

Ojektivitas terhadap pemahaman Yahudi sebagai sebuah bangsa dan ras dapat terlihat jika dilihat dari sudut yang terbalik terhadap tindak – tanduk mereka, seperti aksi yang dilakukan di kapal Mavi Marmara dimana masyarakat internasional mengutuk aksi tersebut, munculnya ancaman dari Turki yang akan meninjau kembali hubungan bilateralnya dengan Israel. Apa bukan ! kondisi ini juga yang diharapkan oleh Yahudi yang secara “ master mind “ mengharapkan perubahan yang akan menggeser kembali peta politik di timur tengah yang saat ini sedang dalam titik jenuhnya pasca konflik di Irak ? sehingga harus dicermati jika sampai terjadi hal – hal yang berdampak negative terhadap eksistensi mereka, disitulah terdapat agenda besar yang ingin dituju bagi mereka.

Yang terakhir dan menurut saya ini menjadi yang paling prinsip yang harus diketahui kita, bangsa Yahudi mengetahui sampai sejauh mana otoritas ruang dan waktu yang diberikan “ Sang Pencipta “ terhadap sepak terjangnya di dunia ini, sehingga apa yang selama ini disembunyikan oleh mereka itulah yang menjadikan massal manusia menjadi hidup dalam sebuah pertarungan yang tidak memahami titik pangkal penyelesaiannya. Manusia dituntun hidup berdasarkan sebab akibat terhadap persoalan yang dihadapinya sehingga menipiskan sudut sang pencipta sebagai creator kebudayaan dan semesta alam. Jika ini sampai terlupakan, sampai dimanapun perjuangan kita untuk dapat melawan pengaruh mereka ( Yahudi ), tidak akan pernah memberikan dampak apa – apa. Sehingga pikiran dan hati yang jernih serta mengimplementasikan tata nilai yang didapat melalui ilham dari sang pencipta menjadi benteng yang paling tangguh dalam menghadang pengaruh tata nilai diasporanisme Yahudi. Disamping cara – cara lain yang dianggap lebih represif untuk menunjukan identitas bangsa Indonesia dalam pergaulan dunia.

Jakarta, 08 Juni 2010
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution