Selasa, 03 November 2009

MENANTI GEBRAKAN SANG LAKSAMANA


Mulai berjalannya Kabinet Indonesia Jilid II setelah dilantik 21 Oktober lalu dan capaian dalam 100 hari kedepan menjadi hal yang ditunggu – tunggu bagi setiap kalangan terhadap kinerja para menteri terhadap komposisi yang cenderung lebih banyak terisi oleh politisi – politisi partai.

Untuk Departemen Perhubungan dimana dalam hal ini Presiden menunjuk Purnawirawan Angkatan Laut Freddy Numberi, memang terlihat adanya upaya dari pemerintah untuk dapat meningkatkan mentalitas birokrasi di jajaran tersebut. Proses sidak ke beberapa tempat pusat transportasi yang kemudian berbuntut digantinya Kepala Stasiun BEOS dan Kepala Pandu Pelabuhan Tanjung Priok, merupakan salah satu shock terapy yang dianggap dapat mengurai benang kusut birokrasi di sektor tersebut.

Kemudian jika dilihat dari kompleksitas persoalan yang dihadapi dalam 2 tahun terakhir di sektor penerbangan, upaya pemerintah di sektor ini, jelas terfokus pada bagaimana agar dengan segera Indonesia terbebas dari sangsi pelarangan terbang Uni Eropa terhadap maskapai nasional. Transisi pucuk kepemimpinan di Dephub, setelah tragedi Adam Air, cenderung mengkedepankan sosok professional yang sangat memahami dunia aviasi sehingga pembenahan yang sudah dilakukan di sektor transportasi udara, sangat memerlukan kecakapan bagi Menteri penerusnya dalam penanganan aparatur birokrasi terhadap optimilasisasi standar yang sudah ditetapkan di sektor penerbangan dan juga pemahaman territorial khususnya  dalam pengembangan transportasi Indonesia.

Menjadi persoalan yang unik saat sekarang ini untuk penerbangan kita, setelah kita melewati fase melambungnya harga minyak dunia di pertengahan 2008 dan pasca bebasnya Indonesia dari larangan terbang. Implikasi terhadap diberlakukan UU No 1 Tahun 2009 menimbulkan persoalan baru sebagai proses adaptasi dari pemberlakukan UU tersebut. Turunnya insiden kecelakaan penerbangan merupakan nilai positif, sementara Survival of The Fittest karena konsekweksi UU tersebut seakan membatasi jumlah maskapai yang beroperasi, akibatnya fuel surcharge menjadi persoalan yang diindikasikan menjadi sebuah kartel diantara maskapai yang memberlakukan tarif tersebut sehingga menghambat pemerintah untuk mendorong penerbangan bertarif murah. Dan persoalan lain juga adalah terhambatnya investasi di sector penerbangan untuk skala premium karena factor kepemilikan armada yang belum sesuai dengan regulasi.

Dari beberapa persoalan tersebut, inisiatif pemerintah untuk menjaga kestabilan kinerja di Departemen tersebut sangatlah baik. Karakter yang tegas merupakan harapan terhadap menteri yang baru  untuk mengawasi kinerja di bawahnya terhadap tanggung jawab keselamatan penerbangan karena maskapai sekelas Garuda pun ternyata masih mengalami insiden lepas ban yang terjadi Jumat lalu. Disamping itu pemerintah harus dapat mengatur pemberlakukan fuel surcharge dengan menggunakan perhitungan formula baku yang pada ujungnya dapat menghapus pemberlakuan fuel surcharge pada maskapai penerbangan. Dan itu kembali terhadap factor ketegasan artinya ada punishment terhadap yang melanggar aturan tersebut jika memang ditemukan adanya indikasi Fuel Surcharge dijadikan sumber pendapatan bagi maskapai. 

Fenomena yang berkembang saat sekarang ini adalah maskapai cenderung beralih konsep ke penerbangan Low Cost Carrier sebagai respon terhadap kondisi krisis global, orientasi ini mungkin akan semakin menguat jika segmen pasar bawah yang di jaring akan lebih luas untuk meningkatkan jumlah orang bepergian menggunakan pesawat. Depresiasi rupiah sebagai dampak yang fluktuatif juga menjadikan maskapai kita tidak mudah untuk melakukan peremajaan armada sehingga dengan pemakaian pesawat yang berusia tua, konsumsi bahan bakar akan lebih banyak dan Fuel Surcharge yang ditetapkan akan lebih mahal dari maskapai asing.
Karena persoalan tekhnis, regulasi dan juga politis dalam dunia penerbangan kita sangat berkaitan erat, sangat diharapkan gebrakan dari Sang Laksamana untuk dapat lebih mendorong penerbangan bertarif murah. Dari penyelesaian yang telah dilakukan terhadap persoalan yang ada, kebijakan yang diberlakukan secara nyata harus dapat menyentuh kepada seminimal mungkin turunnya daya beli masyarakat sebagai dampak krisis global terhadap permintaan penerbangan.



Jakarta, 2 November 2009

Mohamad Chaidir Salamun

Media Analyst IndoSolution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar