Kamis, 10 Desember 2009

9 / 12, Jalan Keluar atau Ritual

Jika kita kembali mencermati pernyataan SBY terkait aksi hari anti korupsi sedunia 9 Desember kemarin, dimana menyatakan adanya upaya penjatuhan dirinya di balik aksi nasional tersebut. Di dalam sebuah dinamika politik, saya melihat hal tersebut merupakan suatu hal yang lazim terjadi dalam konteks “ balance of power ”. Artinya korupsi masih merupakan tema yang menjadi primadona dalam usahanya untuk melakukan penggantian kekuasaan di negeri ini.

Masih menjadi pertanyaan buat saya terhadap agenda 9 / 12 ! Sampai dimana efektifitasnya untuk dapat merubah karakter bangsa ini sebagai negeri yang korup ? Sementara tidak bisa dinafikan kemungkinan adanya motif lain di balik keikutsertaan tokoh-tokoh politik dan tokoh masyarakat dalam aksi kali ini. Yang pada momen – momen sebelumnya tidak pernah terlihat dukunganya dalam pemberantasan korupsi. Sehingga apakah aksi pada hari ini merupakan salah satu jalan keluar untuk dapat terus menekan pemberantasan korupsi atau hanya merupakan ritual dari sebuah seremonial konspirasi politik terkait dengan batu sandungan yang tengah dihadapi oleh SBY ?

Ketika kita berbicara akar persoalan yang membuahkan korupsi  sebagai budaya, sejumlah alas an yang dikemukan oleh para pakar dan pengamat mengenai hal tersebut, baik dari sisi hukum, aparatur maupun kepemimpinan lebih menunjukan bahwa  secara kepribadian bangsa ini tidak siap untuk menjalankan konsep bersih dari perbuatan korupsi. Apa yang terjadi, ketika visi kenegarawanan SBY dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih masih mendapat resistensi yang cukup kuat dan hal itu datang dari aparat penegak hukum yang terlibat dalam  kasus yang terungkap melalui rekaman di MK. Artinya tidak bisa dipungkiri, jika realita yang dihadapi saat sekarang ini, memerlukan waktu yang panjang untuk dapat memetik panen adanya system pemerintahan yang bebas dari korupsi.

Pendidikan sebagai jalan keluar
Saya berharap adanya renungan yang lebih mendalam bagi diri saya sendiri dan juga bagi tiap – tiap yang terlibat dalam aksi 9 / 12. Dimana letak kesalahan yang paling hakiki selama ini, sehingga korupsi begitu memiliki akar yang kuat dan telah menjadi budaya. Dan juga apa yang telah menstimulant sehingga menjadi kondisi yang demikian.

Dalam konteks ini, gagasan sejarawan Inggris Arnold J Toynbee mengenai kebudayaan perlu kita renungkan bersama. “ Bahwa pendidikan merupakan ibu kandung dari kenyataan hidup ( budaya ) “ Tingginya sebuah kebudayaan merupakan hasil dari pola pendidikan yang memenuhi standar nilai dan harga. Dan telah menempuh waktu yang cukup lama untuk mencetak sebuah generasi yang diharapkan.  Oleh karena itu gambaran keberhasilan kenyataan hidup itu ditentukan oleh keberhasilan pendidikan yang ditanamkan.

Sehingga apakah jalan keluar bagi negeri korupsi ini adalah dengan memperbaiki pola pendidikan yang sudah berjalan ? Saya kira khalayak umum sudah sangat memahami hal tersebut. Ketika pemerintah melalui KPK memberikan rekomendasi program pendidikan anti korupsi dari mulai TK hingga SMA bahkan perguruan tinggi, jika dilihat dari struktur silabus materi pendidikannya kurang lebih sama dengan pendidikan Agama, pendidikan Budi Pekerti dan kewarganegaraan. Sehingga kembali menimbulkan pertanyaan, ketika pendidikan anti korupsi ini berkembang apakah pendidikan ini akan efektif ? mengingat di sekolah juga ada pendidikan agama dan kewarganegaraan yang tidak mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan kepribadian siswa. Oleh karena itu, dalam hal ini saya hanya ingin mengingatkan bahwa indoktrinasi yang paling penting dalam proses pendidikan tersebut adalah keluarga.

Ketika kita jauh melangkah dengan menyalahkan system yang sudah ada sebagai penyebab membudayanya korupsi, mungkin kita sedikit melupakan bagaimana memberi pola atau contoh sebagai orang tua dalam menanamkan nilai kepada anak – anaknya untuk membatasi terhadap sesuatu yang bukan menjadi haknya,
Ibarat menulis dalam sebuah batu, jika kita sebagai orang tua, mampu menanamkan nilai – nilai pendidikan mengenai persoalan korupsi dengan baik kepada anak – anak kita sejak dini, maka hal tersebut akan selalu diingat jika individu yang bersangkutan menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat kelak.

Saya kira contoh kecil tersebut, mungkin tidak terdapat dalam implementasi pendidikan keluarga terhadap pihak – pihak yang terlibat dalam perilaku tindak korupsi saat ini. Disamping itu, kita juga perlu mencari tahu apa yang menyebabkan nilai – nilai pendidikan tersebut tidak sampai. Dan bagaimana caranya untuk dapat mengubah pola pendidikan di keluarga yang sudah terpola selama ini, agar kita  bisa melihat perubahan karakter, menjadi bangsa yang bebas korupsi.

Saya berharap momen 9 / 12 ini bukan hanya untuk memperingatkan pemerintah mengenai gagasan dan tindakan dalam pemberantasan korupsi. Tetapi ketika kita turun ke jalan dengan membawa semangat nilai – nilai anti korupsi, masing – masing pribadi yang terlibat aksi, sudah dapat mengimplemantasikan nilai – nilai tersebut terhadap diri sendiri. Bagi yang sudah berkeluarga, seyogyanya istri dan anak – anaknya sudah diberikan pengertian terlebih dahulu mengenai persoalan korupsi ini. Sampai sejauh mana dampak negatifnya dalam kehidupan bermasyarakat dan memberi bentuk contoh di keluarga masing – masing untuk tidak melakukan korupsi.

Artinya jalan keluar dengan memperingatkan keluarga sebagai pihak yang terdekat merupakan hal yang paling kongkrit. Sehingga momentum 9 / 12 tidak hanya menjadi proses ritual aksi masa yang tidak jelas kelanjutannya dalam merubah citra bangsa ini sebagai negeri korupsi.

Jakarta, 9 Desember 2009
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar