Selasa, 24 Maret 2009

Diperlukan Dorongan Yang Lebih Kuat bagi Penerbangan Bertarif Murah

Memasuki akhir triwulan pertama tahun ini, kita melihat masih banyak persoalan dalam dunia penerbangan nasional yang belum terselesaikan, dalam hal ini, saya melihat ada 3 persoalan yang menarik untuk dicermati, persoalan mengenai penurunan penumpang, harga avtur dan pelarangan terbang. Kebijakan yang ada untuk persoalan avtur saat ini masih belum dapat mengangkat trend penurunan penumpang domestik yang terjadi. Kemudian bagaimana kaitannya dengan kebijakan pengelola Bandara yang telah menaikan tarif jasa pelayanan Bandara sehingga, dimanakah letak persoalan yang harus segera diselesaikan terlebih dahulu ? Kemudian bagaimana agar maskapai nasional dapat kembali bersaing dengan maskapai asing di tengah krisis global ini ! ataukah penerbangan domestik yang lebih dahulu didorong dengan regulasi – regulasi dari pemerintah ?

Jika dicermati dari sisi perjalanan penerbangan nasional, persoalan yang merupakan ibarat benang kusut, berawal dari begitu banyaknya insiden dan kecelakaan beruntun di awal tahun 2007 yang akhirnya berdampak pada pelarangan terbang pada pertengahan 2007 ke wilayah udara Eropa dan dibekukannya Adam Air pada awal 2008. Para pengguna jasa penerbangan merasakan dampak – dampak dari kondisi yang terjadi pada waktu itu betapa dengan hilangnya armada Adam Air dalam jumlah yang cukup banyak, menjadikan permintaan penerbangan yang meningkat dengan pelayanan armada yang lebih sedikit sehingga penggunaan transportasi udara dirasakan cukup berat pada waktu itu terutama untuk kalangan masyarakat yang terbiasa menggunakan maskapai berbiaya murah. Hal tersebut merupakan kendala dari faktor internal penerbangan nasional karena gejolak ekonomi dunia belum dirasakan secara nyata, kemudian seiring perkembangan ekonomi dunia pada waktu itu, harga minyak dunia bergerak naik sebagai respon dari kekhawatiran gejolak ekonomi yang perlahan meningkat. Naiknya harga minyak dunia menjadi beban tersendiri bagi maskapai nasional khususnya, karena penggunaan avtur yang mencapai 60 % dari biaya operasional satu sisi harga avtur sejalan dengan harga minyak dunia. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, bagi maskapai mungkin akan lebih baik dibandingkan dengan pada pertengahan tahun lalu, walaupun depresiasi rupiah tetap menjadikan maskapai harus lebih berhati – hati dalam menyusun strategi operasionalnya, tapi paling minimal, maskapai dapat melakukan recovery selepas dari himpitan beban tingginya harga minyak.

Fenomena yang berkembang saat sekarang ini adalah maskapai cenderung beralih konsep ke penerbangan Low Cost Carrier sebagai respon terhadap kondisi krisis global, orientasi ini mungkin akan semakin menguat jika segmen pasar bawah yang di jaring akan lebih luas untuk meningkatkan jumlah orang bepergian menggunakan pesawat. Berkaitan dengan hal tersebut, pemberlakuan kenaikan Passanger Service Charge ( PSC ) yang mulai diberlakukan pada 1 Maret lalu oleh bandara yang dikelola Angkasa Pura II, mungkin akan memperlihatkan kepada khalayak luas bahwa apakah masih ada persoalan lain yang dapat diselesaikan terlebih dahulu dengan tingkat kebutuhan yang lebih mendasar. Karena seiring dengan lebih banyaknya konsep LCC dipakai oleh maskapai nasional, penumpang lebih akan banyak membandingkan penggunaan transportasi udara dengan transportasi kereta karena perbedaan biaya yang relatif sedikit, misalnya untuk jalur penerbangan dari Jakarta – bandung atau Jakarta – Surabaya, Sementara, 3 bulan kedepan merupakan masa low season, artinya secara teori akan terjadi penurunan penumpang, sehingga akan jelas sekali terlihat maskapai bertarif murah dalam melakukan promosinya akan sangat mengapresiasi kepada pelanggan untuk menyiasati penurunan penumpang. Saya kira, dalam hal ini, perbaikan mekanisme dan instrumen bagi penyediaan AVTUR mungkin akan lebih memberikan dampak yang positif untuk mendorong naiknya penggunaan transportasi udara, karena sangatlah wajar dengan volume penjualan yang belum merata di Indonesia, berdampak terhadap masih mahalnya harga avtur jika dibandingkan dengan avtur yang dijual bandara di luar negeri. Depresiasi rupiah juga menjadikan maskapai kita tidak mudah untuk melakukan peremajaan armada sehingga dengan pemakaian pesawat yang berusia tua, konsumsi bahan bakar akan lebih banyak dan Fuel Surcharge yang ditetapkan akan lebih mahal dari maskapai asing.

Belum berjalannya secara maksimal regulasi terhadap keselamatan penerbangan dapat terlihat jelas dengan masih terjadinya insiden mendarat darurat Lion Air beberapa waktu lalu dan kegagalan take off pada pesawat maskapai Batavia, satu sisi kita memiliki optimisme bahwa larangan terbang yang diberlakukan oleh Uni Eropa akan segera selesai pada bulan Juni dengan penerbangan langsung maskapai Garuda ke kawasan tersebut dengan catatan persoalan yang dimiliki oleh maskapai tersebut diselesaikan secara tuntas terlebih dahulu. Dengan adanya optimisme itu, pertanyaannya adalah apakah dengan rentetan insiden – insiden kecil tersebut akan dapat membuyarkan harapan kita selama ini untuk dapat kembali terbang ke kawasan Eropa pada waktu yang telah ditentukan. Atau paling minimal kembali ditunda terkait dengan insiden – insiden yang terjadi.

Persoalan tekhnis, Regulasi dan juga Politis dalam dunia penerbangan kita memang sangat terkait erat antara satu dan yang lainnya tapi paling minimal dari penyelesaian yang telah dilakukan terhadap persoalan yang ada, secara nyata mungkin harus menyentuh kepada bagaimana untuk meminimalkan turunnya daya beli masyarakat sebagai dampak krisis global terhadap permintaan penerbangan. Sehingga lebih didorongnya maskapai dengan konsep biaya murah dengan berbagai regulasi dari pemerintah akan dapat lebih dirasakan oleh masyarakat terutama kelas bawah dan paling minimal tetap dapat mempertahankan tingkat keterisian penumpang yang sudah ada. Percepatan untuk pembangunan penerbangan perintis dengan terpola dan sistematis, juga harus lebih diefektifkan mengingat konsep kedirgantaraan kita yang masih belum jelas terhadap masuknya maskapai asing yang beroperasi di Indonesia, sehingga jika upaya tersebut dapat direalisasikan, untuk menyelesaikan persoalan yang bersifat politis seperti larangan terbang akan dirasakan lebih efektif. Karena hal tersebut ( Larangan terbang ) sangat berkaitan dengan kepentingan dari negara yang bersangkutan terhadap kondisi krisis global yang sedang dihadapi pada saat ini oleh kawasan tersebut.

Jakarta, 23 Maret 2009
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analys Indo Solution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar