Kamis, 28 Mei 2009

Penerbangan Nasional Berada Dalam Jurang Ketidakpastian

Jatuhnya pesawat angkut Hercules di Magetan Jawa Timur beberapa waktu lalu yang menewaskan beberapa perwira angkatan udara memperlihatkan kondisi riil persoalan keselamatan yang dihadapi oleh dunia penerbangan saat ini tidak hanya terjadi di penerbangan sipil, tetapi juga dalam penerbangan militer. Insiden tersebut menunjukan bahwa hampir setiap bulan di tahun ini selalu ada saja insiden dalam bentuk pendaratan darurat atau pun terjatuh karena cuaca buruk atau kondisi pesawat yang sudah tidak layak pakai sebagai dampak dari perawatan yang dianggap kurang maksimal.

Selama ini, sorotan asing yang begitu kuat karena buruknya standar keselamatan penerbangan yang ada, sehingga berdampak terhadap diberlakukannya larangan terbang di kawasan Uni Eropa, secara perlahan menjadikan kita berupaya lebih serius dalam melakukan pembenahan terhadap maskapai penerbangan sipil khususnya demi keberlanjutan penerbangan nasional di kawasan regional dalam upaya untuk membebaskan larangan terbang terhadap kawasan di Eropa. Memang jika dilihat di sepanjang tahun 2008, secara signifikan, jumlah kecelakaan pesawat sipil yang berdampak fatal terlihat menurun seiring dengan kebijakan yang diberlakukan oleh regulator, walaupun kita masih melihat adanya insiden – insiden yang kerap kali terjadi sebagai dampak dari buruknya faktor cuaca yang lebih kepada faktor human error pilot dalam melakukan pendaratan. Optimisme yang berkembang seiring dengan regulasi – regulasi yang diterapkan terhadap keselamatan penerbangan dan perubahan – perubahan positif yang terjadi pasca implementasi regulasi tersebut, tetapi dibalik itu, masih saja ada ditemukan celah dimana insiden masih terjadi sebagai bentuk regulasi yang ada masih belum menyoroti seluruh aspek keselamatan penerbangan. Sebut saja kecelakaan pesawat yang menimpa pesawat jenis Philatus PC – 6, di daerah Mimika, dimana dilaporkan pilot mengabaikan laporan kondisi cuaca  buruk yang terjadi dan memaksakan untuk terbang ke lokasi yang akan didarati, sehingga hal ini menjadi telaahan bagi kita semua terhadap regulasi kita, apakah wilayah kita yang terlalu luas dan sumber daya manusia yang kurang sehingga kita kesulitan untuk melakukan pengawasan keselamatan penerbangan hingga ke daerah. Dari situ jelas sekali terlihat bahwa visi peta jalan menuju kecelakaan nol ( Road Map Accident ) belum mampu dijaga diseluruh tempat dimana ada kegiatan penerbangan.

Sementara, menyikapi terhadap kasus insiden jatuhnya pesawat Hercules, dan jika kita menelaah terhadap kondisi penerbangan di militer khususnya TNI AU, konsekwensi logis yang terjadi jelas akan berujung kepada penilaian terhadap kondisi keselamatan penerbangan nasional secara meyeluruh dan dampak negatif di mata internasional akan kembali menguat, dimana di satu sisi kita sedang berupaya untuk menyelesaikan persoalan pelarangan terbang ke kawasan Uni Eropa. Minimnya anggaran untuk perawatan bagi pesawat militer, memang bukan persoalan baru bagi TNI AU mengingat tingkat kemampuan APBN yang dimiliki bangsa ini. Tetapi terjadinya kecelakaan fatal untuk yang kedua kalinya terhadap pesawat Hercules, mengharuskan pihak terkait dalam hal ini Departemen Pertahanan untuk lebih realistis dalam melakukan manajemen anggaran apakah akan tetap berdasarkan jumlah prajurit atau jumlah pesawat yang dimiliki. Garuda Indonesia mengalokasikan anggaran perawatan hingga 20 trilyun per tahun, bandingkan dengan TNI AU yang mengalokasikan anggaran yang hanya 4 trilyun per tahun. Sehingga dengan anggaran sedemikian minim, tidak ada lagi alasan melakukan operasional penerbangan yang melebihi kemampuan anggaran yang ada. Kepentingan yang lebih besar terhadap keberlanjutan penerbangan nasional merupakan tanggung jawab bersama terhadap semua pihak yang memiliki kepentingan dalam dunia penerbangan.

Maraknya insiden kecelakaan penerbangan sipil yang terjadi di tahun 2009 ini, masih menunjukan bahwa tingkat keselamatan penerbangan masih belum menjadi bagian dari sistem manajamen keselamatan ( safety management system ), kemudian persoalan minimnya anggaran untuk melakukan perawatan pesawat militer TNI AU, berdampak kepada naiknya human error dan kesalahan sistem. sehingga penerbangan kita untuk saat ini, masih berada dalam jurang ketidakpastian. Meski tidak ada hubungan secara langsung antara pesawat jatuh dengan anggaran, tetapi hal tersebut tidak dapat dipungkiri terhadap kesiapan pesawat untuk terbang. Saya kira apa yang terjadi dalam mekanisme penerbangan di TNI AU menjadi pekerjaan rumah tersendiri saat sekarang ini, khususnya Menteri Pertahanan dan Menteri Keuangan dalam menyikapi minimnya ketersediaan anggaran untuk menjamin kelayakan operasional armada pesawat TNI AU, sehingga melalui perubahan anggaran, dapat menjadi jalan keluar agar peristiwa ini tidak terjadi lagi.

Transparansi TNI dalam memaparkan kecelakaan pesawat sangat ditunggu masyarakat, sehingga dengan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat, DPR dan Pemerintah tentu akan mengerti apa yang dialami oleh TNI, dengan demikian keterbatasan yang ada dapat diselaraskan antara kebutuhan pokok minimal ( minimum essensial force ) dari pihak TNI AU dan kemampuan minimum keuangan ( minimum essensial funding ) yang diberikan oleh pemerintah. Tentunya transparansi yang dilakukan oleh TNI juga tidak mengganggu terhadap persoalan pertahanan dan keamanan negara mengingat sensitifitas terhadap isu yang terkait. Karena bagaimanapun juga keberlangsungan penerbangan nasional yang menjadi tolok ukur kemajuan sebuah bangsa tetap menjadi tanggung jawab kita bersama.

Jakarta, 27 Mei 2009
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar