Kamis, 23 Juli 2009

Haruskah Kita Terus Menyalahkan BIN dan Polri ?

Mencermati wawancara dengan mantan Kepala Densus 88, BrigJen Suryadarma Salim, di sebuah stasiun TV selasa malam lalu, yang dengan keyakinan dan berdasarkan pengalamannya selama ini di lapangan, mengatakan bahwa Al Qaeda terlibat di balik peledakan bom di JW Marriot hari Jumat pagi lalu, dari mulai logistik hingga para operator lapangan. Jika berdasarkan fakta yang selama ini ditemukan oleh mantan Kadensus 88 itu, dalam pemaparannya mengenai kondisi geopolitik dan geostrategis Indonesia dalam rangka grand design dari Al Qaeda dalam konteks terorisme global, sangatlah wajar jika organisasi tersebut menjadikan Indonesia sebagai target utama bagi kepentingannya dalam rangka melawan hegemoni barat.

Saya kira jika kita mencermati perjalanan sejarah yang berkembang selama ini, organisasi Al – Qaeda akan tetap ada untuk menjawab tantangan terhadap konlik – konflik yang berkembang, hal tersebut beriringan dengan tantangan negara – negara maju untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dengan menggali sumber daya di negara – negara lain. Kejenuhan aksi teror di Asia Selatan dan Timur Tengah dan upaya yang intensif dari pasukan internasional terhadap aksi teror di Afganistan dan Pakistan, menjadikan Indonesia lebih mudah sebagai travel basic bagi organisasi tersebut melalui jaringannya yang lain.

Sementara, Al Qaeda mencari sebuah panggung yang merepresentasikan simbol barat untuk memiliki gaung global yang kuat jika dilakukan letupan, dan sangat mungkin dilakukan dengan jaringan yang masih dapat dipercaya dan masih tetap eksis di Indonesia seperti Jemaah Islamiyah. Hal tersebut didukung oleh kondisi geografis kepulauan Indonesia dimana merupakan celah yang sangat mungkin dilakukannya target operasi teroris, kemudian juga kita masih memiliki persoalan mendasar dalam catatan administrasi kependudukan.

Yang sangat menarik bagi saya adalah pemaparan Bapak Suryadarma mengenai penanganan pasca operasi atau rehabilitasi bagi suspected teroris untuk kembali menjadi masyarakat biasa setelah menjalani masa hukuman. Hal tersebut dapat dikatakan belum menjadi sebuah pola yang sistematis bagi institusi yang berwenang di negara ini dalam penanganan tersangka kasus terorisme. Jika kita mengkedepankan langkah persuasif ( Soft Power ) dalam menghadapi terorisme, tanpa mengkedepankan tindakan represif ( hard power ), saya kira orang – orang yang terlibat dalam aksi – aksi teror akan mau membongkar apa yang diketahui tentang jaringan mereka, jika istri dan anak – anak mereka diperlakukan secara humanis dan memiliki kesamaan persepsi dalam tata nilai ideologi.

Untuk itu, harus dipahami bahwa pola budaya masyarakat kita yang cenderung menerima dengan mudah terhadap proses akulturasi budaya sehingga dapat dikatakan kita memiliki sense of intelligence yang minim, di satu sisi perilaku tersebut menimbulkan sulitnya bagi masyarakat, membantu suspected teroris kembali menjadi masyarakat biasa karena masyarakat belum dapat menerima dampak yang ditimbulkan dari aksi – aksi teror si pelaku serta cara berpikir yang dimiliki oleh invididu yang bersangkutan. hal tersebut perlu digaris bawahi karena, konsep memandang terorisme sebagai sebuah gerakan dengan basis ideologis merupakan hal yang harus dipahami oleh masyarakat kita karena untuk dapat memutuskan jaringan dari gerakan tersebut membutuhkan ketekunan yang cukup alot.

Pola – pola persuasif yang seperti itu saya kira akan cukup efektif untuk dapat membentuk resistensi terhadap pergerakan dari sel – sel jaringan teroris untuk dapat membangun sebuah basis operasinya. Saya kira disini akan tercipta sebuah hubungan simbiosis yang saling menguntungkan, karena peran intelijen akan sangat membantu dan juga terbantu walaupun konteks operasinya yang berbeda akan tetapi sinergi dengan masyarakat terhadap tujuan yang sama, saya kira akan dapat dilakukan jika kita dapat melakukannya dengan baik dengan mekanisme yang sistematis. Luasnya wilayah kita dari Sabang sampai Merauke menunjukan bahwa tidak mungkin jika penanganan untuk sebuah kejahatan yang memiliki akar ideologis dan gerakan secara sistematis hanya mengandalkan BIN dan juga Densus 88.

Kita semua harus berkaca dari tragedi – tragedi jatuhnya pesawat militer yang terjadi beberapa kali, sebagai bukti minimnya anggaran yang dimiliki institusi terkait untuk dapat menyelengarakan sistem pertahanan nasional. Hal ini juga jelas akan dirasakan oleh BIN sebagai lembaga dalam memberikan peringatan dini. Kendala operasional menjadi masalah utama bagi lembaga tersebut dalam menjalankan fungsinya. Artinya bagaimana seorang ” agen rahasia ” menjalankan fungsinya melakukan operasi tertutup jika logistik yang mendukungnya sangat terbatas, sementara dalam dunia mata – mata, dukungan logistik merupakan salah satu jaminan suksesnya suatu operasi yang dijalankan.

Apa yang terjadi di institusi BIN akan sangat mudah diketahui oleh pihak lawan dalam hal ini organisasi teroris, sehingga membangkitkan optimisme bagi lawan terlaksananya operasi teror dengan sukses. Konsentrasi yang terpecah dalam rangka pengamanan pemilu dan dana operasional yang dirasakan cukup terbatas, merupakan kondisi yang harus dipahami oleh kita semua.

Saya kira aparat telah melakukan berbagai langkah antisipasi sehingga tidak ” kecolongan ” namun itu semua perlu dukungan rakyat. Rakyat juga harus perduli  terhadap situasi kemanan di sekitarnya. Walaupun begitu tetap harus dilakukan evaluasi terhadap internal badan intelijen kita dan Polri  sehingga tetap solid dalam melakukan penanganan dari aksi – aksi terorisme.

Jakarta, 22 Juli 2009.
Mohamad Chaidir Salamun
Media Analyst IndoSolution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar