Senin, 17 September 2012

Antara Pencitraan dan Pendidikan Politik

Sejalan dengan perubahan sistem pemilihan umum di Indonesia, bentuk-bentuk kampanye politik turut berubah. Penggunaan konsultan politik merupakan salah satu cara kampanye modern yang banyak dilakukan saat ini.
Melalui survei yang dilakukan konsultan politik, parpol atau politisi bisa mengetahui perilaku pemilih, membuat pertimbangan untuk menentukan calon, membuat program kampanye, dan mengetahui hasil pemilihan lewat penghitungan cepat. Selain itu, konsultan politik bisa memoles calon atau parpol melalui kampanye pencitraan di media massa.
Meski terbilang modern, kampanye dengan pencitraan melalui iklan politik itu mempunyai kecenderungan manipulatif. Pengamat politik J Kristiadi dari CSIS mengingatkan, iklan politik mirip dengan reklame produk komersial. Iklan politik dapat mengubah seorang politisi medioker menjadi pemimpin karismatik. Yang terjadi adalah ironi politik. Mereka yang bekerja keras, mempunyai kompetensi dan kapabilitas, terpaksa kalah dari mereka yang populer (Kompas, 25/11/2008). Selain itu, rakyat sebagai pemilik suara kurang bisa mendapatkan informasi yang komprehensif dan benar tentang sosok atau parpol yang ditawarkan.
Di masa Orde Baru, hubungan parpol dan konstituen selalu berjarak. Golkar mendominasi hampir setiap aktivitas kampanye pemilu. Kampanye Golkar selalu dipadati massa dan simpatisan. Namun, hal itu terjadi karena mobilisasi massa dilakukan. Alhasil, rakyat menjadi biasa memilih Golkar sebagai kewajiban di era Orba, dan bukan karena mendapatkan pendidikan politik yang baik.
Paling demokratis
Kondisi itu jauh berbeda dengan kampanye Pemilu 1955 yang dikenal sebagai pemilu pertama dan disebut-sebut sebagai salah satu pemilu yang paling demokratis. Melalui kampanye tradisional seperti pengalangan massa, pertemuan-pertemuan, rapat umum, dan orasi tokohnya, parpol peserta Pemilu 1955 gigih menggalang dukungan pemilih hingga ke desa-desa.
Selain memperkenalkan tanda gambar yang akan dicoblos, mereka juga melakukan kegiatan sosial untuk membangun basis massa yang lebih permanen dan bersifat jangka panjang. Tak heran bila jarak antara pengurus parpol dan konstituen terbilang dekat. Pemilih memiliki ikatan efektif dengan partai yang didukungnya. Bahkan, terjalin ikatan yang kuat antara parpol dan anggotanya dengan menerapkan kartu anggota.
Disebutkan bahwa partai-partai besar seperti PNI, NU, Masyumi, dan PKI giat memperagakan lambang partainya dan menerapkan kartu anggota. Menjelang pemilu, jumlah anggota PNI tercatat 5,2 juta orang dan PKI sekitar 1 juta orang. Kampanye yang dilakukan parpol pada saat itu menciptakan semangat kolektivitas di tingkat desa. Parpol mampu menjalankan fungsi-fungsi sosial yang penting di desa seperti gotong royong dan kegiatan sosial.
Saat ini, sistem politik telah berubah total pasca-Reformasi. Format keterbukaan dan dialog langsung kembali diinginkan publik sebagaimana yang dulu pernah berlangsung.
(ERI/LITBANG KOMPAS).
Dicuplik dari : Kompas, 17 September 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar