ANALISIS POLITIK YUDI LATIF
Kembali ke Tanah Air setelah kami mengikuti konferensi East-West 
Center di Beijing (1-3 September) ibarat keluar dari kolam hangat menuju
 danau beku. Konferensi bertajuk ”Community Building and Leadership in 
Asia Pacific” ini mengantisipasi pergeseran poros kemajuan peradaban 
dari trans-Atlantik menuju trans-Pasifik. Suatu pergeseran yang tandanya
 mulai berdenyut dalam gairah hidup dan kepercayaan diri bangsa China.
Kemajuan
 China adalah suatu penjungkirbalikan atas nalar kegaliban. Besarnya 
jumlah penduduk kerap dijadikan alasan kesulitan dan kelambanan 
kemajuan. Namun, dengan 1,3 miliar penduduk, China bisa meraih kemajuan 
dalam kecepatan mengagumkan. Inggris perlu waktu 100 tahun sejak 
revolusi industri untuk melipatgandakan kemakmurannya; Amerika Serikat 
perlu 50 tahun. China mencapainya belasan tahun.
Rahasia di balik 
kesuksesan ini adalah komitmen elite pada integrasi nasional sehingga 
membuat negeri yang dirundung pertikaian panjang dapat mencapai 
persatuan dan perdamaian. Mao Zedong dengan segala kekurangannya 
dihormati sebagai Bapak Pemersatu Bangsa seperti ditahbiskan di dinding 
kota dan beragam cendera mata.
Komitmen elite memberdayakan rakyat
 dengan menjaga kesinambungan antara tradisi dan inovasi. Tradisi kerja 
keras, disiplin, dan kerja sama kolektif warisan konfusianisme dan 
revolusi kebudayaan diberi darah baru oleh desain institusional yang 
memberi ruang bagi kreativitas individu. Hal ini bermula dari kebijakan 
reformer Deng Xiaoping untuk mengurangi intensitas politisasi rakyat 
warisan kebijakan Great Leap Forward-nya Mao. Sejak 1978, kadar 
politisasi ekonomi dikurangi lewat rasionalisasi dan dekolektivisasi.
Komitmen
 elite memulihkan martabat bangsa yang memijarkan rasa bangga bagi 
penduduk menjadi warga China. Setiap warga berlomba memilih peran 
terbaik yang bisa disumbangkan bagi keagungan bangsa. Bersamaan dengan 
kemajuan ekonomi, muncul semacam kredo bahwa ”Washington Consensus” 
adalah trayek masa lalu. Trayek masa depan adalah ”Beijing Consensus”. 
Ketika elite Indonesia berebut bertemu Hillary Clinton, Wakil Presiden 
China membatalkan pertemuannya dengan Nyonya Clinton.
Komitmen 
elite mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberantas korupsi. Sistem 
sosial memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang berilmu, 
pemerintahan mengikuti sistem meritokrasi dengan diisi putra-putri 
terbaik. Kesadaran bahwa Barat bukan satu-satunya sumber ilmu mendorong 
kesetaraan pengakuan terhadap ilmu-ilmu warisan tradisi leluhur. Korupsi
 bukannya tidak ada, tetapi tidak dibiarkan jadi kewajaran dengan sanksi
 keras.
Komitmen elite menjadikan media sebagai wahana pemacauan 
optimisme dan kepercayaan diri. Para peraih medali emas di Olimpiade 
London satu per satu di-interview
 televisi dalam penobatan mereka sebagai pahlawan. Saluran berbahasa 
Inggris, CCTV News, terus-menerus menayangkan slogan ”The Country is 
undergoing tremendous transformation”. Dampak penayangan repetitif 
slogan ini mengonstruksikan persepsi positif dan kepercayaan penonton 
akan kehebatan kemajuan China.
Kembali ke Tanah Air, gairah 
kemajuan bangsa terasa dingin. Selama 14 tahun reformasi, Indonesia 
kehilangan begitu banyak momentum. Awal 1990-an, ketika China masih 
merangkak di landasan, Indonesia telah memasuki fase lepas landas. 
Kemajuan yang kita capai waktu itu menjadikan negara ini sebagai salah 
satu ”Asian Tigers”.
Integrasi nasional terganggu karena elite 
politik berlomba mengkhianati negara. Semua tindakan politik diabsahkan 
menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan 
pelayanan publik. Institusi demokrasi membiarkan politik berbiaya 
tinggi, yang merobohkan kewibawaan politik. Politik didikte kapital, 
pemerintahan disesaki medioker, korupsi merajalela mendorong 
perekonomian berbiaya tinggi.
Peluang-peluang yang dimungkinkan 
demokrasi tak membuat rakyat berdaya, tetapi justru kian teperdaya. 
Pertumbuhan ekonomi hanya memperkaya elite negeri dengan memarjinalkan 
rakyat kebanyakan. Elite negeri lebih bangga mendapat ”isapan jempol” 
penghargaan asing ketimbang penghargaan dari rakyatnya sendiri.
Ketertiban
 dan keselamatan warga kerap dikorbankan oleh motif pengalihan isu. 
Kekerasan difabrikasi sebagai mekanisme defensif kegagalan pemerintah.
Tekad
 belajar elite negeri berhenti sebagai pepesan kosong ”studi banding” 
sebagai modus penjarahan uang negara. Dunia pendidikan sibuk 
memancangkan slogan ”taraf internasional” meski sebenarnya hanyalah 
”tarif internasional”. Jumlah profesor tumbuh dengan jejak karya yang 
makin sulit dikenali. Akademisi dan cendekiawan bukan berkontribusi 
memikirkan desain institusional memperbaiki mutu kepemimpinan, malahan 
turut merayakan banalitas politik sebagai kaki tangan modal melalui 
semacam tim audisi pemimpin idola dalam tarian pragmatisme jangka 
pendek. Media sibuk menayangkan kebebalan politik tanpa agenda setting yang bersifat konstruktif.
Elite
 Indonesia terlalu gemar gebyar lahir dan terlalu gaduh untuk perkara 
remeh-temeh tanpa komitmen pada isi hidup dan arah hidup. Ketika kawasan
 Pasifik menjadi pusat kemajuan baru dan Asian Free Trade di ambang 
pintu, Negeri Besar dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini
 justru terus terhinakan kewibawaannya oleh kesempitan dan kekecilan 
mentalitas elite pemimpinnya. Dicuplik dari Kompas, Selasa, 18 September 2012. Hal : 15
Catatan  : 
Analisis yang digambarkan oleh Bang Yudi Latif adalah bentuk potret Indonesia yang menunjukan keengganannya untuk keluar dari kubangan lumpur keterpurukan. Seolah - olah dalam opini ini, elit lah yang menjadi biang keladi persoalan saat ini. Kemudian membandingkan dengan China yang hanya membutuhkan waktu belasan tahun atau dengan percepatan yang luar biasa serta Inggris yang membutuhkan 100 tahun dan Amerika yang membutuhkan 50 tahun dalam mencapai tingkat kemajuannya. Apa yang terjadi dengan Indonesia yang begitu sulitnya untuk seperti ketiga negara tersebut. Membandingkan Indonesia dengan ketiga negara tersebut tidaklah menjadi suatu perbandingan yang simetris, karena etos kerja yang dimiliki oleh ketiga negara tersebut merupakan warisan yang secara langsung turun temurun mewarnai sejarah peradaban bangsanya. Inggris yang kemudian berkembang menjadi Amerika mendapatkan nilai - nilai tersebut dari transformasi perubahan struktur sosial dan impor dari Arab sebagai pusat kebudayaan dan itu terjadi ketika di zaman pertengahan. Demikian juga dengan China, yang memiliki genetik sebagai ras kuning tentunya etos terhadap life skill nya sangat terjaga karena memiliki garis langsung ketika terjadi migrasi penduduk dari pusat peradaban di Irak th 2000 SM.
Bagaimana dengan Indonesia ? Negeri ini dalam keadaan tidak memahami jati dirinya ketika belahan dunia lain sedang melakukan transformasi peradabannya di abad 1 M. Hal tersebut menjadikan negeri ini menjadi sampah budaya yang berdampak pada tidak memahaminya nilai - nilai produktifitas sebagai sebuah individu sehingga tidak memiliki lifeskill, adapun budaya yang masuk ketika itu adalah sebagai upaya yang radikal untuk menggerakan potensi sumber daya manusia agar dapat melakukan ekspor sumber daya alam ke tempat kebudayaan tersebut berasal. dan hal itu berlanjut selama ribuan tahun, sehingga sangat logis jika perbandingan kita tidak asimetris dengan bangsa - bangsa yang disebutkan diatas. Yang membedakan bangsa ini dengan yang lainnya adalah identitas yang selalu terjaga dalam bentuk bangsa yang nerimo karena dibalik masuknya sampah - sampah budaya tersebut, masuk pula kebudayaan / ajaran yang merupakan titipan " sang pencipta " sebagai bentuk anugrah untuk menjadikan bangsa ini besar di di kemudian hari kelak.... 
Sehingga jika kita menyalahkan elit sebagai salah satu biang keladi kesulitan ini, saya kira lebih baik kita memulai perbaikan dari diri sendiri dalam bentuk perbaikan an-niyat, berkembang menjadi sebuah bentuk kesadaran yang obyektif untuk dapat membentuk rumah tangga yang nantinya mengarah kepada etos bangsa yang dapat bersaing serta membentuk karakter tersendiri sebagai bangsa Indonesia. 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar