Naiknya kembali
isu terorisme di Solo baru – baru ini memunculkan spekulasi apakah isu tersebut
memang sengaja dimunculkan sebagai bentuk pengalihan isu atau memang sebetulnya
berkenaan dengan momentum yang berdasarkan laporan intelijen bahwa ada target
operasi teror yang harus dieliminasi. Kenapa ? karena dalam hal kemunculan isu
terorisme, saat ini sepertinya sudah menjadi pola yang baku terhadap
kemungkinan subtitusi isu untuk menahan stabiltas politik terhadap kemungkinan
dampak munculnya isu strategis yang mendelegitimasi pemerintah. Jika dilihat
secara kronologis dan komparasinya dengan isu – isu stragegis lainnya misalnya
terhadap peninjauan kembali kontrak karya freeport yang diindikasikan terkait
dengan kedatangan Hillary Clinton, kasus korupsi simulator SIM dan adanya
ketidaksiapan dalam penyelenggaraan PON jika seandainya dibelokan menjadi isu
korupsi. Hal tersebut tentunya bisa berimplikasi terhadap lunturnya kepercayaan
masyarakat yang untuk kalangan tertentu menaruh perhatian dalam persoalan ini. Proses
de-redekalisasi merupakan bukan hal yang mudah dilakukan tetapi jika dalam
prosesnya dilakukan untuk perlombaan kenaikan jabatan misalnya ! atau mencari
popularitas dalam rangka menaikan pagu untuk pemberantasan terorisme. Atau juga
dengan memanfaatkan teori bahwa radikalisme tidak pernah habis maka
dihembuskanlah isu untuk melakukan sertifikasi terhadap ulama – ulama sebagai
bentuk jalan tengah untuk menguatkan nilai – nilai liberalis dengan
membenturkan Islam sebagai pengikut agama terbanyak di negeri ini, yang
dikuatkan dengan infiltrasi intelijen dengan mengarahkan target terorisme
terhadap gereja atau tempat ibadat umat lain.
Pola komunikasi
konflik sepertinya sengaja dibangun jika Solo dan sekitarnya menjadi memanas
karena aksi radikalisme. Sehingga wajar jika adanya opini muncul bahwa kondisi
tersebut terkait dengan pencalonan Jokowi yang jika terjadi pergeseran
kekuasaan di kota Solo maka hal inilah yang tidak diinginkan oleh kaum
radikalis di daerah tersebut. Disisi lain kontak senjata yang dilakukan oleh
anak usia 19 tahun dengan Densus 88 harus dilihat secara komperhensif terhadap
perkembangan sel – sel radikalisme. Jika asumsi bahwa sel – sel tersebut akan
terus berkembang biak maka kuantitas anak dengan model seperti itu mungkin akan
cukup signifikan jumlahnya karena dengan usia yang masih sangat muda telah mempunyai
ketenangan psikologis yang luar biasa untuk mampu berhadapan dengan sekelompok
pasukan elit. Jika katakanlah hal tersebut dapat terpantau perkembangannya oleh
intelijen maka akan disayangkan jika ternyata preventivenya dikaitkan dengan
perkembangan politik yang merugikan pemerintah. Bagaimanapun juga dengan
melihat kondisi psikologis si anak tersebut, maka tali ideologis tetap terjalin
dengan para seniornya yang telah lebih dulu terbunuh sehingga seolah – olah,
rajutan tersebut menjadi ruh atau tenaga pembangkit dalam meneruskan cita –
cita memerangi nilai – nilai yang dianggap bertentangan dengan bentuk berpikir
mereka. Oleh karena itu wacana tersebut harus terus dikuatkan agar dalam
penanganan de-redekalisasi menjadi sebuah upaya yang sungguh – sungguh dengan tidak
memanfaatkan eksistensi kaum radikalis yang notabene saat ini sedang
memperlihatkan eksistensi mereka bahwa mereka masih ada.
Jakarta,
13 September 2012
Mohamad
Chaidir Salamun
Media
Anaslyst IndoSolution
www.indosolution.co.id
www.indosolution.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar