Kamis, 13 September 2012

Jangan sampai Terjebak di dalam Pusaran Konflik



Naiknya kembali isu terorisme di Solo baru – baru ini memunculkan spekulasi apakah isu tersebut memang sengaja dimunculkan sebagai bentuk pengalihan isu atau memang sebetulnya berkenaan dengan momentum yang berdasarkan laporan intelijen bahwa ada target operasi teror yang harus dieliminasi. Kenapa ? karena dalam hal kemunculan isu terorisme, saat ini sepertinya sudah menjadi pola yang baku terhadap kemungkinan subtitusi isu untuk menahan stabiltas politik terhadap kemungkinan dampak munculnya isu strategis yang mendelegitimasi pemerintah. Jika dilihat secara kronologis dan komparasinya dengan isu – isu stragegis lainnya misalnya terhadap peninjauan kembali kontrak karya freeport yang diindikasikan terkait dengan kedatangan Hillary Clinton, kasus korupsi simulator SIM dan adanya ketidaksiapan dalam penyelenggaraan PON jika seandainya dibelokan menjadi isu korupsi. Hal tersebut tentunya bisa berimplikasi terhadap lunturnya kepercayaan masyarakat yang untuk kalangan tertentu menaruh perhatian dalam persoalan ini. Proses de-redekalisasi merupakan bukan hal yang mudah dilakukan tetapi jika dalam prosesnya dilakukan untuk perlombaan kenaikan jabatan misalnya ! atau mencari popularitas dalam rangka menaikan pagu untuk pemberantasan terorisme. Atau juga dengan memanfaatkan teori bahwa radikalisme tidak pernah habis maka dihembuskanlah isu untuk melakukan sertifikasi terhadap ulama – ulama sebagai bentuk jalan tengah untuk menguatkan nilai – nilai liberalis dengan membenturkan Islam sebagai pengikut agama terbanyak di negeri ini, yang dikuatkan dengan infiltrasi intelijen dengan mengarahkan target terorisme terhadap gereja atau tempat ibadat umat lain. 

Pola komunikasi konflik sepertinya sengaja dibangun jika Solo dan sekitarnya menjadi memanas karena aksi radikalisme. Sehingga wajar jika adanya opini muncul bahwa kondisi tersebut terkait dengan pencalonan Jokowi yang jika terjadi pergeseran kekuasaan di kota Solo maka hal inilah yang tidak diinginkan oleh kaum radikalis di daerah tersebut. Disisi lain kontak senjata yang dilakukan oleh anak usia 19 tahun dengan Densus 88 harus dilihat secara komperhensif terhadap perkembangan sel – sel radikalisme. Jika asumsi bahwa sel – sel tersebut akan terus berkembang biak maka kuantitas anak dengan model seperti itu mungkin akan cukup signifikan jumlahnya karena dengan usia yang masih sangat muda telah mempunyai ketenangan psikologis yang luar biasa untuk mampu berhadapan dengan sekelompok pasukan elit. Jika katakanlah hal tersebut dapat terpantau perkembangannya oleh intelijen maka akan disayangkan jika ternyata preventivenya dikaitkan dengan perkembangan politik yang merugikan pemerintah. Bagaimanapun juga dengan melihat kondisi psikologis si anak tersebut, maka tali ideologis tetap terjalin dengan para seniornya yang telah lebih dulu terbunuh sehingga seolah – olah, rajutan tersebut menjadi ruh atau tenaga pembangkit dalam meneruskan cita – cita memerangi nilai – nilai yang dianggap bertentangan dengan bentuk berpikir mereka. Oleh karena itu wacana tersebut harus terus dikuatkan agar dalam penanganan de-redekalisasi menjadi sebuah upaya yang sungguh – sungguh dengan tidak memanfaatkan eksistensi kaum radikalis yang notabene saat ini sedang memperlihatkan eksistensi mereka bahwa mereka masih ada. 

Jakarta, 13 September 2012
Mohamad Chaidir Salamun
Media Anaslyst IndoSolution 
www.indosolution.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar