Naiknya
status Anas menjadi tersangka efektif mulai Jumat 22 Feb 2013, terus menaikan
suhu prahara di internal Partai Demokrat. Pertarungan opini yang terus
berlanjut antara mempertahankan pencitraan vs menuntut keadilan memunculkan
korban dengan kalahnya Dede Yusuf dan Lex Laksamana di quick count pilgub
Jabar. Jika dilihat secara alur waktu sampai dengan Anas menjadi tersangka, publik
sudah sangat memahami bahwa ada show off force bahwa partai tersebut adalah
milik SBY dan keluarganya, sekaligus menunjukan dinamika hegemoni politik ketentaraan
dengan tidak mengkedepankan adanya perbedaan sebagai fundamental demokrasi. Dalam
kondisi tersebut, statement Anas dalam tanggapannya sebagai tersangka kasus korupsi
sudah sangat jelas memperlihatkan bahwa sang ketua umum selama ini sebetulnya terhimpit
dengan banyaknya kader – kader PD yang oportunis yang memanfaatkan posisi
politis mereka di DPR atau di partai untuk melakukan hal – hal seperti yang
dilakukan oleh Nazarudin, hanya saja ke opportunisan mereka selama ini
tertutupi oleh mindset pencitraan SBY yang betul – betul menunjukan kepemilikan
Partai tersebut oleh SBY dan keluarganya. Sehingga dengan mudah bagi kader –
kader tersebut untuk bersembunyi dengan menunjukan seolah – olah merekalah yang
paling setia terhadap SBY dan keluarganya.
Statement
Anas secara santun mengenai tahapan opini akan dijadikannya yang bersangkutan sebagai
tersangka, seolah ingin menunjukan bahwa badan anti korupsi ( KPK ) yang selama
ini dianggap independen sebetulnya dikendalikan oleh SBY. Tentunya ini juga
mengingatkan kita terhadap kasus Antasari di 2009, apakah sebetulnya pimpinan
KPK ketika itu tersungkur karena operasi clandestein tim intelijen SBY yang
dilakukan untuk pemenangan 2009 agar DPT fiktif yang berjumlah 60 juta tidak
menjadi polemik publik yang dapat berperpengaruh terhadap kemenangan mutlak
mereka atau memang karena kasus affair cinta segitiga yang melibatkan salah
seorang Direktur yang terbunuh ketika itu. Sehingga saya kira tidak ada
salahnya jika masyarakat turut menelaah kondisi perkembangan tersebut agar proses
penegakan hukum di negeri ini bukan bertujuan untuk menjaga citra penguasa dengan
cara membui orang – orang terdekat penguasa di negeri ini. Tetapi dengan cara membangun
kesadaran masyarakat bahwa selama ini ternyata yang dilakukan adalah dengan mempertahankan
hegemoni cara berpolitik tentara sehingga tidak akan menghasilkan kesejahteraan
secara fundamental seperti yang selama ini menjadi jargon pemerintahan SBY.
Dalam
proses kasus hukum Anas, saya kira, publik juga harus turut mengawal, tentunya
dengan mendapatkan pemberitaan yang berimbang, berlarut – larutnya kasus ini,
memang agar terdesign bahwa citra Anas sebagai koruptor agar mengkristal di
mata publik sehingga disaat keluarnya status tersangka, resistensi opini publik
hampir – hampir menjadi nihil karena sangat mendukung Anas menjadi tersangka,
mengingat kharisma dan pengaruh Anas melui jaringan HMI nya. Logika politik tersebut
dapat ditelaah dari persepsi statement Anas yang mengatakan bahwa dirinya
adalah ibarat bayi yang tidak diharapkan dan jika lembaran demi lembaran
tersebut terus dituliskan maka akan semakin mempertajam blunder terhadap
pencitraan yang dilakukan oleh SBY karena Anas memiliki data yang kuat terhadap
keterlibatan kader oportunis lain yang bersembunyi di balik pencitraan SBY.
Sehingga
sangat mungkin dalam proses hukumnya nanti, Ibas akan terseret delik hukum karena
kedekatan dan statusnya sebagai Sekjen PD jika dalam buka – bukaannya Anas
meniru seperti yang telah dilakukan oleh Nazarudin, oleh karena itu, berkaca
dari kasus Nazarudin yang diawal kasus menyebut nama Ibas sebagai salah satu
bagian dari operasinya ( baca : Nazarudin ) maka, opini yang ditiupkan adalah
dengan menjadikan Nazarudin sebagai musuh negara dengan cara melibatkan Badan Intelijen
Negara dimana seolah – olah sedang mencari Nazarudin yang kabur ke luar negeri.
Naiknya
isu separatisme di Papua mungkin saja dapat dikatakan sebagai teriakan dari para
patriot kita disana, agar anggaran untuk menyelesaikan Papua diperbesar dan
juga karena permainan mafia senjata yang menyulitkan tentara kita untuk
melakukan operasi militer secara tertutup. Tetapi kira – kira ? apakah semua
ini juga sebagai dampak prahara kepemilikan di Partai Demokrat atau terlalu
menjaga citranya sebagai penguasa negeri ini ? Silahkan masyakat untuk menilai hal
tersebut dan dikaitkan dengan proses perjalanan status hukum Anas tentunya
diharapkan dengan penguasaan pemahaman terhadap kemunculan pemberitaan atau
opini yang berkembang agar terhindar dari deception opinion untuk kepentingan
pencitraan kembali, sehingga diharapkan masyarakat mampu menilai posisi
pemimpinnya saat ini dalam meletakan keadilannya.
Mohamad
Chaidir Salamun
Jakarta,
25 Februari 2013
Media
Intelligence Consulant IndoSolution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar