Selasa, 14 Oktober 2008

Fuel Surcharge dan Ketahanan Aviasi Nasional

Optimisme yang berkembang terhadap jumlah penumpang melalui Bandara Soekarno – Hatta yang pada awalnya diperkirakan akan naik sekitar 20 % mengacu kepada prediksi optimistis terhadap penumpang melalui Bandara Soetta, yang kemudian perkiraan tersebut kembali diturunkan sebesar 12 %, secara kongkrit semua perkiraan tersebut meleset secara signifikan dimana pada saat momen lebaran berlangsung terjadi penurunan jumlah penumpang sekitar 15 – 30 %. Kondisi tersebut harus disikapi secara arif dan bijaksana dan mungkin ada baiknya jika kita melihat perjalanan dunia aviasi selama 4 atau 5 bulan yang lalu dan keberlangsungannya hingga sekarang, dimana pada saat itu kondisi harga minyak dunia yang menyentuh level tertingginya sekitar 147 dollar / barrel, memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap eksistensi dunia aviasi baik global maupun lokal. Umumnya maskapai di negara – negara maju mengalami hambatan yang luar biasa dan beberapa maskapai di negara maju diantaranya menyatakan sedang dalam kondisi bangkrut karena tidak kuat menanggung beban tingginya bahan bakar sehingga mengambil alternatif dengan melakukan PHK besar – besaran terhadap karyawannya atau merumahkan sejumlah pilotnya untuk mengurangi beban operasional.  Memang hal seekstrim itu tidak terjadi terhadap maskapai nasional, tetapi yang menjadi persoalannya adalah sejauh mana kesiapan dari sisi birokraksi kita dalam menghadapi persoalan tersebut, karena seiring dengan naiknya harga minyak, harga Fuel Surcharge akan mengikuti perkembangan kenaikan yang ada.

Perbaikan Alternatif Moda Transportasi
Ketiadaan sejumlah armada pasca berhenti beroperasinya Adam Air dan ketika harga minyak dunia stagnan di level 140 dollar / barrel untuk beberapa waktu, maskapai nasional dihadapkan kepada persoalan untuk tetap dapat bertahan sehingga tidak ada jalan lain menaikan harga fuel surcharge untuk mengurangi beban operasional bahan bakar, hal tersebut berdampak terhadap tingginya tarif penerbangan yang diberlakukan ketika berlangsungnya musim liburan di bulan Juni – Juli lalu. Kendati demikian loading factor maskapai belum terpengaruh secara signifikan sehingga penggunaan transportasi udara pada saat itu masih dianggap sebagai transportasi yang sesuai dengan daya beli oleh sebagaian masyarakat.
Disaat stagnasi harga minyak dunia yang berlangsung cukup lama dan dampaknya terhadap dunia aviasi nasional, penguatan transportasi di sektor lain seperti kereta api dan angkutan laut dilakukan oleh pemerintah dengan harapan dapat dijadikan sebagai alternatif lain terhadap transportasi penerbangan dan juga kondisi tersebut menjadi pembelajaran tersendiri bagi pemerintah pada saat itu untuk segera melakukan perbaikan – perbaikan baik dari sisi operasional maupun birokrasi sehingga keseimbangan terhadap kebutuhan moda transportasi tetap dapat berjalan dan meminimalkan dampak ketergantungan dari kenaikan harga minyak di sektor penerbangan.

Kebijakan Penyelamatan
Ketika Menteri Perhubungan Jusman Sjafei Jamal mengeluarkan statement bahwa “ Tidak akan mengeluarkan izin terhadap rute baru maskapai jika maskapai melanggar tarif batas atas untuk angkutan udara lebaran “ statement tersebut mengandung visi secara tersirat untuk tetap menjaga ketsabilan trend pengguna angkutan udara, artinya kebijakan tersebut tidak hanya ditujukan disaat momen lebaran saja, meski masa peak season di saat lebaran berakhir, diharapkan tarif dengan level yang berada di batas yang wajar dapat kembali menaikan trend pengguna secara perlahan di saat low season sehingga di saat masa peak season akhir tahun ini maskapai dapat kembali meraih loading factor sesuai dengan target yang dibebankannya. Memang jika dilihat perkembangan selama satu bulan terakhir, harga minyak yang turun begitu drastis begitu juga dengan harga AVTUR, tidak serta merta membuat maskapai menurunkan Fuel Surcharge nya, hal tersebut juga tidak dapat disalahkan karena tingginya operasional yang dikeluarkan oleh kebanyakan maskapai selama masa tingginya harga minyak menyebabkan maskapai membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan recovery untuk menutupi kinerja keuangannya. Wacana akan dilibatkannya sektor swasta terhadap penyediaan AVTUR diharapkan dapat lebih memberikan harga AVTUR secara real time mengikuti harga minyak dunia. Dalam kondisi seperti ini, niat pemerintah harus disambut secara positif tanpa perlu kita mempermasalahkan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh Pertamina selama ini, karena jika dilihat secara utuh, urgensinya adalah memperkuat ketahanan aviasi nasional.

Insiden – insiden yang masih terjadi seperti pesawat tergelincir yang penyebabnya masih dianggap karena kurang maksimalnya maskapai melakukan perawatan terhadap pesawat dan juga faktor keselamatan keselamatan penerbangan yang selama ini masih menjadi sorotan masyarakat internasional seperti Uni Eropa diprediksi mempermudah masuknya maskapai asing untuk dapat melakukan operasionalnya di Indonesia sehingga mempersempit ruang gerak maskapai nasional. Ekspansi yang dilakukan oleh maskapai asing yang berada di level LCC dengan pelayanan premium selama ini terbukti efektif untuk menarik minat pengguna penerbangan karena terbukti selama para operator maskapai asing yang melakukan operasional penerbangannya insiden kecelakaan yang terjadi dapat dikatakan sangat minim.

Tanpa pelu kita mempermasalahkan kualitas penerbangan nasional, titik nadir terhadap ketahanan dunia aviasi kita memang telah tampak sehingga disaat momen harga minyak dunia yang sedang mengalami penurunan drastis diharapkan dapat memberi kestabilan Fuel Surcharge yang diberikan oleh maskapai nasional. Dibutuhkan percepatan terhadap regulasi – regulasi untuk mengimbangi kondisi yang berkembang karena bagaimanapun juga logika pasar minyak dunia, para produsen minyak akan melakukan kebijakan untuk segera menstabilkan harga minyak dunia. Wajarnya tarif penerbangan terhadap daya beli sebagian masyarakat kita merupakan salah satu hal yang paling dapat digunakan untuk tetap mempertahankan persaingan maskapai kita dengan dengan para operator asing. Penurunan yang terjadi disaat momen lebaran kemarin diharapkan merupakan pembelajaran bagi maskapai nasional untuk melakukan pembenahan dan secara perlahan menarik kembali kecenderungan para penggunanya, walaupun penurunan tersebut juga merupakan pengaruh dari upaya pemerintah terhadap optimalisasi di sektor transportasi lain seperti kereta api dan angkutan laut mengingat belum pulihnya daya beli masyarakat selepas kenaikan harga BBM di bulan Mei kemarin.

Diperlukan sinergis yang kuat berupa simbosis mutualisme antara pemerintah dan para operator penerbangan sehingga apa yang menjadi kepentingan pemerintah dalam menggalakan sektor pariwisata untuk mengejar target hingga akhir tahun misalnya, diharapkan berpengaruh positif terhadap penguatan ketahanan dunia aviasi nasional.

Jakarta,13 Oktober 2008
Mohamad Chaidir
Media Analis IndoSolution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar