Jumat, 17 Oktober 2008

Solusi Cerdas Bisnis Penerbangan ala Mandala

Dalam rangka menghadapi krisis finansial global, maskapai Mandala Airlines menerapkan kebijakan satu jenis pesawat ( Single Fleet Aircraft ) yakni hanya boleh mengoperasikan satu jenis pesawat saja yaitu Airbus, dimana kebijakan ini untuk merespon tekanan biaya ( Cost ) yang diakibatkan oleh krisis global. Jika dilihat terhadap perjalanan dari kebijakan tersebut, Mandala sudah merintis untuk fokus terhadap penggunaan Airbus dimulai sejak Februari 2008, dengan tidak lagi menggunakan Boeing 737 – 200 yang dikenal dengan konsumsi bahan bakarnya yang boros disamping  usia pesawat yang sudah cukup tua. Dalam rencana mengganti dengan Airbus, Mandala sudah memesan 30 unit Airbus hingga 2011 senilai US$ 1,8 milyar. Kemudian di akhir bulan September 2008 lalu, Mandala membuka penerbangan perdana ke empat kota dari Jakarta ke Bengkulu, Pangkal Pinang, Jambi dan Pontianak. Dengan asumsi tingginya permintaan layanan transportasi udara dari daerah tersebut terutama menjelang lebaran pada saat itu. Mandala mengklaim bahwa tingkat terisinya empat rute baru tersebut pada saat lebaran mencapai 99,9 %. Penggunaan pesawat yang baru merupakan salah satu pendorong padatnya Loading Factor di rute tersebut.

Solusi Krisis Penerbangan
Dampak langsung dari krisis keuangan ini adalah peningkatan biaya sewa pesawat , biaya asuransi dan lainnya. Begitu juga dengan lembaga pembiayaan keuangan ( Lessor ) yang diprediksi akan mengalami kesulitan likuiditas sehingga mungkin akan menyulitkan maskapai dalam melakukan penambahan rute dan peremajaan pesawat. Menurut Direktur IndoSolution, Ir Agus Muldya Natakusumah MM, karena biaya operasional maskapai di luar negeri yang lebih besar maka, kemungkinan besar maskapai mengalami kerugian bahkan kebangkrutan, jika hal tersebut terjadi maka akan banyak pesawat yang di grounded karena beban operasional yang tinggi. Hal tersebut merupakan salah satu solusi bagi maskapai nasional jika pengadaan melalui lessor di luar negeri mengalami kesulitan karena sulitnya ikuiditas yaitu dengan melakukan pengambilalihan pesawat – pesawat yang di grounded terhadap maskapai yang mengalami kebangkrutan, kemungkinan lainnya yang logis dalam menghadapi situasi krisis ini adalah dengan memperhatikan aksi korporasi yang dilakukan oleh Mandala Airlines, dan dikaitkan dengan pelarangan terbang yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap Indonesia. Ketika krisis yang terjadi sudah membuat kolaps operasional maskapai secara global, kemungkinan tersebut akan membuat terpukulnya pabrikan pembuat pesawat terbang seperti Boeing dan Airbus. Kedua pabrikan tersebut akan kehilangan potensi pasarnya karena maskapai sebagai penggunanya mengalami kebangkrutan. (kayaknya harus lebih di persingkat, jangan berbelit-belit, jadi bingung..)

Kondisi pelarangan terbang yang diberlakukan oleh Uni Eropa dapat dijadikan sebagai sebuah posisi tawar dari Indonesia terhadap Eropa melalui penggunaan pesawat Airbus yang berasal dari Eropa seperti yang dilakukan oleh Mandala dengan memberlakukan kebijakan satu jenis pesawat ( Single Fleet AirCraft ) yang diharapkan bisa mendapatkan kemudahan armada dengan harga yang lebih terjangkau. Dan diharapkan Indonesia dipertimbangkan kembali keberadaannya terhadap pelarangan terbang yang diberlakukan oleh Uni Eropa selama ini, tentunya dengan tetap memperhatikan komitmen terhadap peningkatan aspek – aspek keselamatan penerbangan oleh para operator lokal.(kayaknya kata-kata penghubungnya harus diedit, cari yang paling perfect)

Strategi aksi korporasi yang dilakukan oleh Mandala mendorong kepercayaan perusahaan minyak asal Perancis, Total E & P Indonesia untuk menerbangkan 9000 karyawannya dalam penerbangan domestiknya di Indonesia setelah perusahan yang bersangkutan melakukan audit terhadap sejumlah maskapai yang ada dan menjatuhkan pilihannya terhadap Mandala. Hal tersebut menjadi salah satu implikasi dari penggunaan Airbus yang dilakukan oleh Mandala. Faktor usia pesawat yang relatif masih baru diyakini sebagai maskapai yang benar – benar memperhatikan faktor safety, disamping itu faktor kesamaan negara asal perusahaan dan Airbus juga mungkin menjadi salah satu pertimbangan.

Melalui test case yang dilakukan oleh Mandala di 4 rute barunya pada saat menjelang lebaran yang menghasilkan loading factor 99,9 %. Disamping peran Dephub sebagai regulator juga sangat membantu proses ini dengan memberikan izin perluasan rute di rute gemuk tersebut, sehingga dapat terlihat animo masyarakat terhadap penggunaan armada yang relatif baru seperti Airbus.

Penguatan Pariwisata & Keamanan
Disaat  imbas resesi global yang menimpa hampir semua negara, secara langsung akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Naiknya harga dolar terhadap rupiah merupakan salah satu potensi dimana biaya pariwisata di Indonesia masih lebih murah dibanding dengan negara – negara lainnya, sehingga sektor ini dianggap sektor yang mampu bertahan dari situasi krisis yang terjadi. Dibukanya jalur penerbangan Mataram – Perth menunjukan potensi permintaan berwisata dari Australia ke NTB dan kemungkinan lainnya adalah masyarakat NTB yang dapat mencari pekerjaan berupa pemetik anggur musiman di Australia, menggantikan warga Sudan, Somalia dan negara dari Afrika lainnya. Kondisi para pekerja tersebut dapat diatur regulasinya dimana para pekerja disaat bukan musim panen dapat pulang ke daerahnya sehingga dapat memenuhi loading factor maskapai – maskapai Australia.

Meski pemerintah Australia belum mencabut travel advisory yang meminta seluruh warga Australia agar menunda kunjungan yang tidak penting ke Indonesia, sehingga disini dituntut peran pemerintah untuk lebih mengoptimalkan keamanan di tanah air agar kerusuhan seperti yang terjadi di Pilkada – pilkada atau konflik sosial yang bersifat agama tidak terjadi sehingga hal tersebut lebih menjamin keamanan wisatawan mancanegara yang melakukan kunjungan ke Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh maskapai internasional seperti di Amerika dan Eropa pada saat ini, dengan mengurangi biaya untuk bahan bakar dan kebijakan tersebut hanya berlaku untuk orang yang sedang berlibur saja seperti yang diberlakukan di Amerika, merupakan bentuk kekhawatiran negara – negara maju terhadap menurunnya minat bepergian orang dalam beberapa bulan mendatang, dari kasus ini sangat jelas terlihat dibutuhkannya soliditas dunia aviasi untuk mendukung sektor pariwisata dan juga sebaliknya, dimana pemerintah mengharapkan pariwisata merupakan sektor yang tidak terkena dampak krisis finansial global ini.
Jakarta, 16 Oktober 2008
Mohamad Chaidir
Media Analyst IndoSolution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar